BANGUNAN ISLAM
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembimbing : Heriamo, S.Ag, MSI
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
·
APRIANTO A.
·
ELLIS MAULANA
·
FIRSTYAN JUNIAR
·
NOR HIKMAH RASYID
JURUSAN SISTEM INFORMASI
STMIK BORNEO INTERNASIONAL PENAJAM
2016
KATA PENGANTAR
Rasa
syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas Bangunan Islam sebagai
salah satu tugas mata kuliah Agama Islam.
Dalam
proses penyusunan makalah ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan,
arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang
dalam-dalamnya untuk pihak yang membantu.
Demikian makalah ini
kami buat semoga bermanfaat.
Penajam,
November
2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Kata
Pengantar........................................................................................................................................ i
Daftar
Isi................................................................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
1.1. Latar
Belakang...................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan
Masalah................................................................................................................. 1
1.3. Tujuan
................................................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 2
2.1. Bangunan
Islam (syarah Rukun Islam)(1)............................................................................ 2
a) Takhrij
Hadits........................................................................................................................ 2
b) Urutan
Haji dan Puasa dalam Hadits..................................................................................... 2
c)
Ahammiyatul Hadits
(Urgensi Hadits)................................................................................. 3
d) Syarah
Hadits......................................................................................................................... 4
e) Bangunan
Islam..................................................................................................................... 6
f) Rukun-Rukun
Islam............................................................................................................ 23
g) Tujuan
Ibadah...................................................................................................................... 23
h) Macam-Macam
Iman.......................................................................................................... 24
2.2. Lima
Pilar Syari’at Islam.................................................................................................... 24
a) Memelihara Agama (Hifdzh Al-Din/حفظ الدّين)............................................................... 25
b) Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs/حفظ النّفس)................................................................... 26
c) Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql/حفظ العقل).................................................................... 27
d) Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl/حفظ النّسل)........................................................... 28
e) Memelihara Harta (Hifzh Al-Maal/حفظ المال).................................................................. 29
BAB III
PENUTUP....................................................................................................................................... 30
3.1. Kesimpulan.......................................................................................................................... 30
3.2. Penutup................................................................................................................................ 31
Daftar
Pustaka...................................................................................................................................... 32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sebuah
bangunan tidak akan berdiri kokoh tanpa adanya pilar atau penopang bangunan
tersebut. Ketahanannya amat bergantung dari seberapa kuat pilar-pilar itu
dibuat sehingga nantinya ia tidak akan hanyut disapu gelombang maupun luluh
lantak digunacang gempa. Begitu pula dengan keislaman pada diri seorang muslim,
terdapat berbagai sendi dan pilar-pilar yang harus dipersiapkan. Semua itu
haruslah dipelajari dan diamalkan oleh setiap orang muslim.
Islam
dibangun atas lima perkara: Kesaksian bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dan
Muhammad Adalah Rasul Allah, Mendirikan Solat, Berpuasa di Bulan Ramadhan, Menunaikan Zakat, Haji ke Rumah Allah (Bagi Yang Mampu).
1.2.
Rumusan
Masalah
1)
Apa saja konsep islam?
2)
Mengapa disebut bangunan islam?
3)
Apa saja bangunan islam?
4)
Apa saja 5 pilar dalam bangunan
islam
1.3.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
1)
Untuk mengetahui terdiri dari
apa saja konsep islam itu..
2)
Untuk mengetahui pondasi dari
bangunan islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Bangunan Islam (Syarat Rukun Islam) (1)
Al-Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ
الَّرحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا
قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ
الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم)
Abu Abdurrahman Abdullah
bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun atas lima
pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul
Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah
haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. [HR Bukhari dan Muslim].
a) TAKHRIJ
HADITS
1. Shahihul Bukhari, Kitabul Iman, Bab al Iman
wa Qaulin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Buniyal Islamu ‘ala khamsin”,
no. 8.
2. Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu
Arkanil Islam, no.16.
3. Sunan at Tirmidzi, Kitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
4. Sunan an Nasaa-i, Kitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
3. Sunan at Tirmidzi, Kitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
4. Sunan an Nasaa-i, Kitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
5. Musnad Imam Ahmad, II/26, 93, 120, 143.
6. Al Humaidi, no. 703.
7. Ibnu Hibban, no. 158 dan 1446.
b) URUTAN
HAJI DAN PUASA DALAM HADITS
Terdapat perbedaan
penentuan urutan haji dan puasa dalam periwayatan hadits ini. Sebagian perawi
meriwyatkan dengan mendahulukan haji atas puasa dan ada sebagian lain yang
mendahulukan puasa dari haij. Berikut ini keterangan ulama seputar masalah ini.
Menurut Imam Ibnu
Daqiqil ‘Id (wafat th. 702 H), pada beberapa riwayat disebutkan haji lebih
dahulu daripada puasa. Hal ini keraguan dari perawi. Wallahu a’lam. Oleh karena
itu, ketika Ibnu ‘Umar mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada
puasa, ia melarangnya, lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia
berkata,”Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .” (Muslim, no.16) (19).
Menurut Imam an Nawawi
dalam syarahnya terhadap hadits ini, ia berkata: “Demikianlah, dalam riwayat
ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekadar tertib dalam
menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum
kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa lebih dahulu daripada
haji”. [Syarah Muslim, I/178,179].
c) AHAMMIYATUL
HADITS (URGENSI HADITS)
Hadits ini mempunyai
kedudukan yang agung, karena menerangkan asas dan kaidah-kaidah Islam, yakni
Islam dibangun di atasnya, yang dengannya seorang hamba menjadi Muslim. Dan
tanpa asas ini, seorang hamba berarti keluar dari agama.
Imam Nawawi
berkata,”Sesungguhnya hadits ini merupakan pijakan yang agung dalam mengenal
agama Islam. Dengan dasar hadits ini tegaknya agama Islam. Hadits ini
mengumpulkan rukun-rukunnya”. [Syarah Muslim, I/179].
Abul Abbas al Qurthubi
(wafat th. 671H) berkata,”Lima hal tersebut menjadi asas dan landasan tegaknya
agama Islam. Lima hal di atas disebut secara khusus, tanpa menyebutkan jihad
–padahal jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang
kafir– karena kelima hal tersebut merupakan salah satu fardhu kifayah.
Sehingga, pada saat tertentu kewajiban tersebut bisa menjadi gugur.” [Syarah
Arba’in an Nawawiyah, hlm. 37, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id].
Ibnu Rajab mengatakan,
jihad tidak disebutkan pada hadits Ibnu ‘Umar di atas, padahal jihad merupakan
amal perbuatan termulia. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa, Ibnu Umar
‘ditanya : “Bagaimana dengan jihad?” Ibnu ‘Umar menjawab,”Jihad itu bagus,
namun hanya hadits itulah yang aku terima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” [Diriwayatkan Imam Ahmad].
Disebutkan di hadits
Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu : “Pokok segala sesuatu ialah Islam,
tiangnya shalat, dan puncaknya ialah jihad”.
Kendati keberadaan jihad
menduduki tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun jihad bukan merupakan
salah satu tiang dan rukunnya, tempat bangunan Islam dibangun di atasnya,
karena dua sebab. Pertama, jihad -menurut jumhur ulama- adalah fardhu kifayah
dan bukan fardhu ‘ain. Ini berbeda dengan kelima rukun di atas. Kedua, jihad
tidak berlangsung hingga akhir zaman. Jika Nabi Isa q telah turun dan ketika
itu tidak ada agama selain Islam, maka dengan sendirinya perang berhenti, tidak
lagi membutuhkan jihad. Ini berbeda dengan kelima rukun Islam yang tetap
diwajibkan kepada kaum Mukminin hingga keputusan Allah datang kepada mereka,
dan ketika itu mereka dalam keadaan seperti itu. Wallahu a’lam. [Jami’ul ‘Ulum
wal Hikam, I/152].
d) SYARAH
HADITS
Maksud hadits di atas
ialah, Islam dibangun di atas lima hal. Dan ia seperti tiang-tiang bangunannya.
Hadits di atas
diriwayatkan Muhammad bin Nashr al Marwazi dalam Kitabush Shalat, no. 413,
sanadnya shahih menurut syarat Muslim. Redaksinya berbunyi :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى
خَمسِ دَعَائِمَ
Islam dibangun di atas
lima tiang …
Maksud hadits tersebut
adalah, penyerupaan Islam dengan bangunan. Adapun tiang-tiang bangunan tersebut
berupa kelima hal tersebut. Jadi, bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya.
Sedangkan ajaran-ajaran Islam lainnya berfungsi sebagai penyempurna bangunan.
Jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut hilang dari bangunan Islam, maka
bangunan itu berkurang, namun tetap bisa berdiri dan tidak ambruk, meskipun
berkurangnya salah satu dari penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang
tersebut ambruk, maka Islam akan runtuh disebabkan tidak adanya kelima tiang
penyangga tersebut.
Islam juga ambruk dengan
hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat
ialah, beriman kepada Allah dan RasulNya.
Disebutkan dalam riwayat
Bukhari “Islam dibangun atas lima: beriman kepada Allah dan RasulNya, … dan
seterusnya” (no. 4514). Dalam riwayat Muslim disebutkan “Islam dibangun atas
lima: hendaknya mentauhidkan Allah…” (no. 16)(19). Dalam riwayat Muslim lainnya
(no.16)(20) disebutkan :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى
خَمسٍ: أن يُعبَدَ اللهُ وَيُكفَرَ بِمَا دُونَهُ…
Islam dibangun atas
lima: hendaknya beribadah kepada Allah dan mengingkari peribadahan kepada
selainNya… [Lihat penjelasan Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) dalam Jami’ul Ulum
wal Hikam, I/145].
Seorang hamba tidak
dikatakan Islam, sehingga dia melaksanakan asas, tiang dan rukun Islam yang
dijelaskan dalam hadits ini. Rasulullah n memberikan perumpamaan asas dan tonggak
ini sebagai bangunan yang kuat dan kokoh. Orang yang tidak berdiri di atas
tonggak ini, maka dia akan binasa. Adapun perkara-perkara Islam lainnya yang
wajib, ia sebagai penyempurna bagi rukun Islam ini.
Bangunan ini sangat
dibutuhkan oleh seorang hamba. Empat tiang yang disebutkan dalam hadits ini,
dibangun di atas dua kalimat syahadat, Asyhadu an-la ilaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadar- Rasulullah. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan menerima
sesuatu pun dari amal seseorang tanpa syahadatain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menyebut rukun-rukun iman yang wajib lainnya, karena beriman bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah, memiliki konsekwensi mengimani seluruh yang
disebutkan dalam masalah keyakinan dan ibadah, sebagaimana juga tidak disebutkan
tentang jihad, padahal jihad merupakan kewajiban yang besar, yang dengannya
kejayaan Islam ditegakkan, panji-panji Islam dikibarkan, dan dengannya
orang-orang kafir dan munafik diperangi. Tidak disebutkannya jihad, karena
jihad adalah fardhu kifayah yang tidak diwajibkan kepada setiap orang,
melainkan pada keadaan-keadaan tertentu saja. [Lihat Qawaid wa Fawaid Minal
Arba’in an Nawawiyah, hlm. 53,54].
e) BANGUNAN
ISLAM
Dalam hadits ini
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm mengilustrasikan Islam dengan sebuah
bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas pondasi-pondasi yang kokoh.
Pondasi-pondasi tersebut sebagai berikut.
Pertama. Dua Kalimat Syahadat.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَََّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ
Makna Laa Ilaaha Illallaah.
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa
ilaaha illallaah) adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِِِِِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (laa ma’buda
bi haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua sesembahan yang disembah oleh
manusia berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kubur, pohon,
batu, kayu dan lainnya, semuanya merupakan sesembahan yang batil, tidak bisa
memberikan manfaat dan tidak dapat menolak bahaya.
Firman Allah:
Firman Allah:
وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ
اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا
مِّنَ الظَّالِمِينَ#$
Dan janganlah kamu
menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat
kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.
[Yunus/10:106].
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ
هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ
هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
(Kuasa Allah) yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [al Hajj/22 :
62].
Penafsiran Yang Salah
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas.
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas.
– Menafsirkan kalimat
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ مَعْبُوْدَ إلاَّ
اللهِ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah); padahal makna tersebut rancu,
karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi, baik dengan benar maupun
salah, adalah Allah.
– Menafsirkan kalimat
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ
(tidak ada pencipta kecuali Allah); padahal makna tersebut merupakan bagian
dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ(laa ilaaha illallaah). Dan
penafsiran ini masih berupa tauhid rububiyyah saja, sehingga belum cukup.
Demikian ini yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
– Menafsirkan kalimat
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ
لِلّه (tidak ada hak untuk menghukumi kecuali hanya bagi Allah); padahal
pengertian ini juga tidak cukup, karena apabila mengesakan Allah dengan
pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Kuasa saja lalu berdo’a kepada selainNya,
atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selainNya, maka hal ini belum
termasuk definisi yang benar. [1]
– Syaikh Muhammad bin
Shalih al ‘Utsaimin ditanya tentang penafsiran la ilaha illallaah. Penafsiran
tersebut ialah “mengeluarkan keyakinan yang jujur dari segala sesuatu dan
memasukkan keyakinan yang jujur atas Dzat Allah”.
Menjawab tentang
penafsiran ini, Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Ini merupakan
penafsiran batil, tidak dikenal oleh Salafush Shalih; karena bukan demikian
yang dimaksud dengan meyakini Allah dan mengeluarkan keyakinan dari selainnya.
Ini tidak mungkin, karena keyakinan ada juga pada selain Allah. Sungguh kamu
benar-benar akan melihat neraka jahim, kemudian kamu benar-benar akan
melihatnya denga ‘ainul yaqin QS at Takatsur/102 ayat 6-7), meyakini sesuatu
yang konkrit sudah diketahui tidak menafikan tauhid. Jadi, berdasarkan pengertian
ini, maka tafsir di atas tertolak”.[2]
Rukun Laa Ilaaha
Illallaah.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
– النَّفْيُ (mengingkari). Yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– اْلإِثْبَاتُ (menetapkan). Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tidak ada sekutu bagiNya.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
– النَّفْيُ (mengingkari). Yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– اْلإِثْبَاتُ (menetapkan). Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tidak ada sekutu bagiNya.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
فَمَن يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ
انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Barangsiapa yang kufur
kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada
buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. [al Baqarah/2 : 256].
Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ
فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Beribadahlah
kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam
kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [an Nahl/16 : 36].
Makna Dari Syahadat
Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
– طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Barangsiapa taat kepada
Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan
yang besar. [an Nisaa`/4 : 13].
– تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا
أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ$
Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya… [al Hadid/ 57
: 28].
– اجْتِنَابُ مَا نَهَى
عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam larang.
Allah Ta’ala berfirman:
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
… Dan apa-apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah… [al Hasyr/59 : 7].
– أَنْ لاَ يَعْبُدَ
اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan
cara yang telah disyari’atkan.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut yang telah disyari’atkan dan dicontohkan Nabi Muhammad. Kita wajib ittiba` kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut yang telah disyari’atkan dan dicontohkan Nabi Muhammad. Kita wajib ittiba` kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad):
“Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Ali ‘Imran/3 : 31].[3]
Kesaksian bahwa, tiada
ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Nabi Muhammad n adalah
utusan Allah, artinya, mengakui adanya Allah yang Tunggal, serta membenarkan
kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rukun ini ibarat
pondasi bagi rukun-rukun yang lain. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ…
Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah… [HR Bukhari,
no. 25; Muslim, no. 22, dan Ibnu Hibban, no. 175].
Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَن قَالَ: لاَإِلهَ
إلاَّ الله مُخْلِصًا دَخَلَ الجَنّة
Barangsiapa yang
menyatakan tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dengan penuh keikhlasan,
maka ia akan masuk surga. [HR al Bazzar].
Kedua. Menegakkan Shalat.
Shalat merupakan hubungan antara hamba dengan Rabb-nya yang wajib dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah dan ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Shalat merupakan hubungan antara hamba dengan Rabb-nya yang wajib dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah dan ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلُّوا كمَا
رَأيتُمُونِى أُصَلَّي
Shalatlah, sebagaimana
kalian melihat aku shalat. [HR Bukhari].
Beruntunglah orang yang
melaksanakan shalat dengan khusyu` dan thuma’ninah. Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ
الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam
shalatnya. [al Mu’minun/23 : 1, 2].
Barangsiapa yang menjaga
shalat yang lima waktu, maka pada hari kiamat, ia akan mendapatkan cahaya,
petunjuk dan keselamatan. Dia dijanjikan oleh Allah akan dimasukkan ke dalam
surga.
Shalat akan mendidik
seorang muslim agar selalu takut dan mengharap kepada Allah. Yang dengannya,
seorang muslim akan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah.
Allah berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ
إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ
Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari
ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al
‘Ankabut/29 : 45].
Shalat merupakan amal
yang pertama dihisab pada hari Kiamat. Rasulullah n bersabda:
أوّل مَايُحَاسَبُ بِهِ
العَبدُ يَوم القِيَامَة الصَّلاةُ, فَإن صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ, وَإن
فَسَدَت فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Amal seorang hamba yang
pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik,
maka baik pula seluruh amalnya. Dan apabila shalatnya rusak, maka rusak pula
seluruh amalnya. [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, II/512 no.1880, dari
sahabat Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah
Ahadits ash Shahihah, no. 1358].
Shalat yang wajib akan
menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, dalam masalah shalat,
seorang muslim harus memperhatikan :
– Harus dikerjakan pada waktunya, dab yang utama ialah di awal waktu.
– Harus dikerjakan dengan khusyu` dan thuma’ninah.
– Harus dikerjakan sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari mulai takbir sampai salam. [4]
– Bagi laki-laki, mengerjakannya dengan berjama’ah di masjid.
– Harus dikerjakan pada waktunya, dab yang utama ialah di awal waktu.
– Harus dikerjakan dengan khusyu` dan thuma’ninah.
– Harus dikerjakan sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari mulai takbir sampai salam. [4]
– Bagi laki-laki, mengerjakannya dengan berjama’ah di masjid.
Hukum Orang Yang
Meninggalkan Shalat.
Para ulama kaum Muslimin telah sepakat, orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam.
Para ulama kaum Muslimin telah sepakat, orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam.
Adapun orang yang
meninggalkan shalat karena malas atau sibuk dengan tanpa alasan, sementara itu
orang tersebut memiliki keyakinan tentang wajibnya, dalam hal ini para ulama
berselisih paham tentang hukumnya.
Pendapat Pertama
mengatakan, bahwa mereka telah kafir. Sahabat yang berpendapat seperti itu
adalah Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah,
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdullah dan Abu Darda’.
Adapun selain sahabat yang berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq
bin Rahawaih, ‘Abdullah bin Mubarak serta an Nakhaa-i. Mereka berdalil dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah bersabda.
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ
وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
Sesungguhnya batas
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.
[HR Muslim, no. 82].
Dari ‘Abdullah bin
Syaqiq al ‘Uqaili, ia berkata :
كانَ أَصحَابُ رسُول الله
لاَ يَرَونَ مِنَ الأَعْمَالِ شَيئًا تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
Dahulu para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat sesuatu amal yang ditinggalkan
menjadi kufur, kecuali shalat. [HR Tirmidzi, no. 2622].
Pendapat Kedua
mengatakan, bahwa mereka adalah fasik tanpa mengkafirkannya. Demikian ini
adalah pendapat jumhur ulama salaf, di antaranya Malik, Syafi’i dan Abu
Hanifah. Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah :
خَمْسُ صَلَوَاتٍ
كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ
لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ
اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ
يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ
شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Ada lima waktu shalat
yang diwajibkan Allah atas hamba-hambaNya. Barangsiapa yang mengerjakannya
tanpa menyia-nyiakannya sedikit pun dan meremehkan hak-haknya, maka ia telah
terikat janji dengan Allah yang akan memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa
yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Kalau
mau, Allah akan menyiksanya. Dan kalau mau, Allah akan mengampuninya. [HR Ahmad
dan Malik]
Adapun syahid dari
hadits ini, bahwa orang yang meninggalkan shalat, bisa jadi ia akan diampuni.
Ini menunjukkan, meninggalkannya tidak termasuk kufur hakiki. Seandainya itu
kufur, maka pelakunya akan terhalang dari ampunan Allah. Begitu juga tidak
kekalnya ia dalam neraka menunjukkan bahwa, meninggalkan shalat tidak termasuk
kufur hakiki. Karena orang yang kafir akan kekal selama-lamanya di neraka. Juga
dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa
yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya. [an Nisaa`/4 : 116].
Juga pertanyaan Shilah
bin Zufar kepada Hudzaifah : “Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat
bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji dan
shadaqah?” Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar)
mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzaifah menjawab,”Wahai
Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api
neraka”. Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga kali. [HR Ibnu Majah, no. 4049
dan Hakim, IV/473, 545].
Ketika mengomentari
hadits ini, Syaikh al Albani berkata : “Hadits ini mengandung hukum fiqih yang
penting. Bahwa syahadat dapat menyelamatkan orang yang mengucapkannya dari
kekekalan di neraka kelak pada hari Kiamat, sekalipun ia tidak menjalankan
rukun islam lainnya, seperti shalat dan lain-lain,” kemudian beliau
melanjutkan,”Saya menilai, yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh jumhur
(mayoritas ulama). Dan pendapat yang dikemukakan sahabat tentang pengkafiran
itu, bukanlah kafir yang menjadikannya kekal di neraka, yang tidak mungkin
diampuni oleh Allah. Mengapa begitu? Sebab Shilah bin Zhufar yang pemahamannya
hampir sama dengan Imam Ahmad ketika bertanya ‘Apakah perkataan la ilaha
illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat …,
lalu Hudzaifah menjawab, wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan
menyelamatkan mereka dari api neraka,’ perkataan ini diucapkannya tiga kali.
Ini merupakan penyataan dari Hudzaifah bahwa, orang yang meninggalkan shalat
dan selainnya dari rukun-rukun, ia tidak kafir; bahkan dia seorang muslim yang
akan selamat dari kekekalan dalam neraka pada hari Kiamat”. [Lihat Silsilah
Ahadits ash Shahihah, I/175 no. 87, al Qismul Awwal]
.
Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) mengatakan, orang yang meninggalkan shalat wajib, maka dia telah melakukan dosa besar yang paling besar. Dosanya, lebih besar di sisi Allah dari membunuh, mengambil harta, berzina, mencuri dan minum khamr. Orang yang meninggalkan shalat wajib, ia akan mendapat kemurkaan Allah dan dihinakan di dunia dan akhirat. [Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29]
.
Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) mengatakan, orang yang meninggalkan shalat wajib, maka dia telah melakukan dosa besar yang paling besar. Dosanya, lebih besar di sisi Allah dari membunuh, mengambil harta, berzina, mencuri dan minum khamr. Orang yang meninggalkan shalat wajib, ia akan mendapat kemurkaan Allah dan dihinakan di dunia dan akhirat. [Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29]
Ketiga Puasa Ramadhan.
Puasa pada bulan Ramadhan hukumnya wajib. Allah l berfirman :
Puasa pada bulan Ramadhan hukumnya wajib. Allah l berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ$
Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al Baqarah/2 : 183].
Anjuran Untuk Berpuasa
Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن صَامَ رَمَضَانَ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِه
Barangsiapa berpuasa
Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu. [HR Bukhari, no. 1901; Muslim, no. 760].
Syaikh al Albani
berkata,”Apabila seorang manusia tidak memiliki dosa, maka puasa akan menjadi
sebab terangkatnya derajatnya, sebagaimana yang terjadi pada anak-anak yang
tidak berdosa.”
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ, وَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانِ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا
بَيْنَهُنَّ, إِذَا اجْتُنِبَتِ الكَبَائِرُ
Shalat lima waktu, dari
Jum’at ke Jum’at berikutnya, akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama
tidak berbuat dosa besar. Dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, akan
menghapuskan dosa yang terjadi di antaranya, jika dosa-dosa besar dihindari.
[HR Muslim, no. 233 (16)].
Dari Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أتاكم شهرُ رَمَضَانَ,
شَهرٌ مُبَارَكٌ, فَرَضَ اللهُ عَلَيكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ
الْجَنَّةِ, وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ, وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ
الشَّيَاطِينِ, فِيْهِ لَيْلَةٌ هِيَ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهْرٍ, مَن حُرِمَ خَيرَهَا
فَقَدْ حُرِمَ
Telah datang kepada
kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan atas
kalian berpuasa padanya. Pada bulan Ramadhan, Allah akan membukakan pintu-pintu
surga, menutup pintu-pintu neraka, dan akan membelenggu para setan yang jahat.
Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa
yang dicegah dari kebaikannya, maka ia telah tercegah. [HR an Nasaa-i, IV/129;
Ahmad, II/230].
Tentang makna
dibelenggunya setan-setan yang jahat, Imam al Mundziri mengatakan : “Sesungguhnya
para setan tidak tulus dalam mengganggu manusia pada bulan Ramadhan, seperti
tulusnya gangguan mereka pada bulan-bulan yang lain. Dikarenakan kaum Muslimin
sibuk dengan berpuasa yang dapat mengekang hawa nafsu, membaca al Qur`an, serta
ibadah-ibadah lainnya”. [Shahih at Targhib wa Tarhib, I/586]
Ancaman Bagi Orang Yang
Sengaja Tidak Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Umamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika tengah tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal, seraya berkata,’Naiklah’.”
Lalu kukatakan: “Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya,” selanjutnya keduanya berkata: “Kami akan memudahkan untukmu”.
Maka aku pun menaikinya, sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras, sehingga kutanyakan: “Suara apakah itu?’
Mereka menjawab,”Yang demikian itu adalah jeritan para penghuni neraka”.
Kemudian dia membawaku berjalan, dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan robekan itu mengalirkan darah.
Dari Abu Umamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika tengah tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal, seraya berkata,’Naiklah’.”
Lalu kukatakan: “Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya,” selanjutnya keduanya berkata: “Kami akan memudahkan untukmu”.
Maka aku pun menaikinya, sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras, sehingga kutanyakan: “Suara apakah itu?’
Mereka menjawab,”Yang demikian itu adalah jeritan para penghuni neraka”.
Kemudian dia membawaku berjalan, dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan robekan itu mengalirkan darah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita,
kemudian aku katakan: “Siapakah mereka itu?”
Dia menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktu berbuka.” [HR Hakim, I/430 dan lainnya].
Dia menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktu berbuka.” [HR Hakim, I/430 dan lainnya].
Puasa Ramadhan
diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah, melalui firman Allah, bulan Ramadhan
adalah bulan diturunkannya al Qur`an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara kebenaran dan kebathilan). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu yang masuk bulan (Ramadhan), maka puasalah … –
al Baqarah/2 : 185.
Puasa merupakan ibadah
yang dapat mensucikan jiwa, membersihkan hati dan menyehatkan tubuh.
Barangsiapa yang berpuasa karena semata-mata menjalankan perintah Allah dan
mencari keridhaanNya, maka puasa tersebut akan menghapuskan dosa-dosanya, dan
menjadi sarana untuk mendapatkan surga.
Keempat. Menunaikan Zakat.
Allah telah mewajibkan
zakat atas setiap muslim yang telah mencapai nishab dalam hartanya dengan
syarat-syarat tertentu. Zakat maknanya adalah tambahan, penyucian dan berkah.
Dinamakan demikian, karena orang yang menunaikan zakat akan mendapatkan
keberkahan pada hartanya, dan akan membersihkan jiwanya dari sifat-sifat kikir.
Allah berfirman.
Allah berfirman.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ
سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[at Taubah/9 : 103]
Yang dimaksud dengan
shadaqah disini ialah zakat.
Anjuran Untuk Menunaikan
Zakat
Di dalam al Qur`an, Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk menunaikan zakat. Allah telah menerangkan bahwa :
Di dalam al Qur`an, Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk menunaikan zakat. Allah telah menerangkan bahwa :
– Menunaikan zakat
menjadi sebab turunnya rahmat Allah. Allah berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah
dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. [at Taubah/9 : 71].
– Menunaikan zakat akan
membersihkan jiwa dan menyucikannya dari kotoran bakhil (pelit), tamak, serta
keras terhadap orang-orang lemah dan miskin. Lihat firman Allah surat at Taubah
ayat 103.
– Menunaikan zakat
menjadi sebab kokohnya kedudukan kaum Muslimin di muka bumi. Allah berfirman :
الَّذِينَ إِن
مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا
بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
(Yaitu)orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. [al Hajj/22 : 41].
Begitu juga Rasulullah,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menganjurkan untuk
menunaikan rukun yang bahwa :
– Menunaikan zakat
menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
Dalam hadits disebutkan, ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukan kepadaku amal-amal yang dapat memasukkanku ke surga,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” [HR Bukhari-Muslim]
Dalam hadits disebutkan, ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukan kepadaku amal-amal yang dapat memasukkanku ke surga,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” [HR Bukhari-Muslim]
– Menunaikan zakat
menjadi sebab hilangnya kejelekan harta.
Dari Jabir, ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seseorang menunaikan zakat hartanya?” Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang menunaikan zakat hartanya, maka akan lenyaplah kejelekan hartanya.” [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, no. 1602. Haditsnya hasan].
Dari Jabir, ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seseorang menunaikan zakat hartanya?” Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang menunaikan zakat hartanya, maka akan lenyaplah kejelekan hartanya.” [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, no. 1602. Haditsnya hasan].
Ancaman Bagi Orang Yang
Tidak Menunaikan Zakat
Allah menerangkan akibat yang akan diterima seseorang yang meninggalkan zakat emas dan peraknya.
Allah menerangkan akibat yang akan diterima seseorang yang meninggalkan zakat emas dan peraknya.
– Pada hari Kiamat
kelak, harta-harta (emas dan perak) itu akan dipanaskan, lalu dahi dan seluruh
jasad orang tersebut dibakar dengannya. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
[at Taubah/9 : 34].
– Allah juga
menjelaskan, orang yang meninggalkan zakat, hartanya akan dikalungkan di
lehernya pada hari Kiamat kelak. Allah berfirman :
وَلَا يَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ
بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. [Ali Imran/3 : 180].
Al Hafizh Ibnu Katsir,
ketika menjelaskan ayat ini, beliau membawakan hadits dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa diberi harta oleh Allah, tetapi dia tidak
menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat, harta itu akan berwujud seekor ular
jantan bertanduk lagi memiliki dua taring, yang akan melilitnya. Kemudian ular
itu memakannya dengan kedua mulutnya, seraya berkata,’Aku adalah hartamu. Aku
adalah harta simpananmu,’ kemudian beliau membaca,’Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka’.” – QS Ali Imran
ayat 180 sampai akhir ayat. [HR Bukhari, no.1403].
– Meninggalkan zakat
temasuk yang menjadi penyebab terhalangnya hujan dari langit.
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi bersabda: “…Mereka tidak mengeluarkan zakat dari harta mereka, sehingga akan tertahan hujan dari langit. Dan kalau saja bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan”. [HR Ibnu Majah, no. 4019. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 106].
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi bersabda: “…Mereka tidak mengeluarkan zakat dari harta mereka, sehingga akan tertahan hujan dari langit. Dan kalau saja bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan”. [HR Ibnu Majah, no. 4019. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 106].
Yang dimaksud dengan
zakat ialah, memberikan bagian tertentu dari harta yang dimiliki kepada
mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat), ketika harta tersebut telah
mencapai nishab (batas minimal wajib zakat) dan haul (sudah satu tahun), dan
telah terpenuhi berbagai syarat wajib zakat. Ketika memberikan sifat kepada
orang-orang mu’min, Allah berfirman tentang orang-orang yang mengeluarkan zakat
: “Dan orang-orang yang menunaikan zakat” –QS al Mukminun/23 ayat 4- “Dan
orang-orang yang dalam hartanya terdapat hak yang jelas, bagi orang miskin yang
meminta-minta dan tidak mau meminta-minta” –QS al Ma’arij/70 ayat 24, 25].
Zakat merupakan ibadah
yang berhubungan dengan harta benda. Melalui zakat akan tercipta keseimbangan
sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalin kasih-sayang dan saling menghargai
sesama muslim. Orang yang tidak mengeluarkan zakat, ia diperangi sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh sahabat Abu Bakar ash Shiddiq.
Kelima Haji.
Hadits ini menunjukkan, bahwa haji ke baitullah termasuk rukun Islam. Di antara dalil yang menegaskan wajibnya haji bagi orang yang mampu, yaitu firmanNya :
Hadits ini menunjukkan, bahwa haji ke baitullah termasuk rukun Islam. Di antara dalil yang menegaskan wajibnya haji bagi orang yang mampu, yaitu firmanNya :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ
مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ
حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ
اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya
(Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. [Ali Imran/3 : 97].
Allah menyebutkan
tentang haji dengan sefasih-fasih kata yang menunjukkan penekanan terhadap
haknya, kewajibannya, serta kehormatannya yang agung.
Haji merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakan sekali seumur hidup. Disebutkan dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah pernah berkhutbah di hadapan kami. Beliau berkata:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Wahai manusia! Sungguh
Allah telah mewajibkan haji kepada kalian. Karena itu, berhajilah!” Ada orang
yang bertanya,”Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah diam,
sehingga orang itu mengulanginya tiga kali. Setelah itu Rasulullah bersabda :
“Seandainya aku jawab ya, maka haji itu tentu wajib setiap tahun, dan kalian
tidak akan mampu melaksanakannya”. [HR Muslim, no.1337 (412].
Wajibnya Menunaikan
Ibadah Haji Dengan Segera
Tidak halal bagi seorang muslim menunda ibadah haji, apabila ia memiliki badan yang sehat, harta yang cukup untuk melaksanakan haji, dan untuk membiayai keluarga ketika ia pergi. Bahkan wajib baginya menyegerakan melaksanakannya, dengan dasar dalil-dalil sebagai berikut.
Tidak halal bagi seorang muslim menunda ibadah haji, apabila ia memiliki badan yang sehat, harta yang cukup untuk melaksanakan haji, dan untuk membiayai keluarga ketika ia pergi. Bahkan wajib baginya menyegerakan melaksanakannya, dengan dasar dalil-dalil sebagai berikut.
– Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang patah, atau sakit, atau pincang,
maka ia telah halal. Dan baginya haji pada tahun yang akan datang.” [HR Abu
Dawud, no. 1862; Tirmidzi, no. 940; Ibnu Majah, no. 3077, dan Nasaa-i, V/198;
Shahih Jami’ush Shaghir, no. 6521].
Imam asy Syaukani
berkata dalam menjelaskan hadits ini : “Seandainya waktu melaksanakan haji itu
longgar, maka Rasulullah tidak akan memerintahkan untuk menggantinya pada tahun
yang akan dating”. [Nailul Authar, IV/318].
– Dari Ibnu ‘Abbas,
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bersegeralah untuk
melaksanakan haji. Karena seseorang tidak mengetahui apa yang akan
menghalanginya”. [HR Ahmad, I/314. Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no.
990].
– Umar bin Khaththab
berkata,”Barangsiapa telah memiliki kemampuan untuk haji, namun ia tidak
menunaikan haji, maka hatinya seperti Yahudi atau Nasrani.” [Tafsir Ibnu
Katsir, I/415. Ibnu Katsir berkata,”Sanadnya shahih sampai kepada Umar.”].
Anjuran Menunaikan
Ibadah Haji
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk menunaikan ibadah haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang pahala dan ganjaran yang telah persiapkan Allah bagi mereka yang berhaji. Di antara dalil-dalilnya:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk menunaikan ibadah haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang pahala dan ganjaran yang telah persiapkan Allah bagi mereka yang berhaji. Di antara dalil-dalilnya:
– Haji merupakan
seutama-utama amal yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb-nya.
Dan haji juga memiliki pengaruh yang baik pada jiwa.
Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang amal-amal yang utama. Maka
Rasulullah n menjawab: “Iman kepada Allah dan RasulNya”.
“Kemudian apa?”
Rasulullah
menjawab,”Jihad di jalan Allah”.
“Kemudian apa?”
Rasulullah
menjawab,”Haji yang mabrur.” [HR Bukhari, no. 26; Muslim, no. 83].
Yang dimaksud dengan
haji mabrur ialah, seseorang yang menunaikan haji sesuai dengan contoh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan keadaan dia lebih baik daripada
sebelum dia berangkat haji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لِتَأْخُذُوا عَنِّي
مَنَاسِكَكُم
Hendaknya kalian
mengambil dariku tata cara manasik haji kalian. [HR Muslim, no. 1297; Abu
Dawud, no. 1970; an Nasaa-i, V/270; dan lainnya].
Hendaknya seseorang yang
menunaikan ibadah haji, ia bersungguh-sungguh pada dirinya, agar ibadah haji
yang ia tunaikan memberikan pengaruh pada kebersihan jiwanya, dan agar ia
berlaku zuhud di dunia dan mengharapkan akhirat.
– Apabila seorang muslim
menunaikan ibadah haji sesuai perintah Allah dan memperhatikan adab-adabnya,
maka haji itu akan menjadi sebab dibersihkannya seorang hamba dari dosa dan
kesalahan, sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran.
Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن حَجَّ هَذَا البَيْتَ
فَلَم يَرْفُثْ, وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَومٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa yang berhaji
ke Baitullah dan ia tidak berkata kotor dan tidak pula berbuat dosa, maka ia
pulang dalam keadaan seperti pada saat ia dilahirkan ibunya. [HR Bukhari, no.
1521; Muslim, no. 1350].
Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata,”Rafats, bisa bermakna jima’ (bersetubuh). Bisa juga bermakna perbuatan
keji. Dan bisa juga bermakna obrolan seorang lelaki kepada wanita yang
berkaitan dengan persetubuhan. Dan telah diriwayatkan dari sejumlah ulama,
tentang tiga makna ini. Wallahu a’lam.” [Shahih at Targhib wa Tarhib, II/4].
Haji mabrur ganjarannya
adalah surga. Yang kenikmatannya tidak bisa terlihat oleh mata, tak terdengar
oleh telinga, dan tidak dapat terlintas dalam hati manusia. Dari Abu Hurairah,
ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى
الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ
جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Antara umrah yang satu
dengan lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur
tidak ada ganjaran baginya melainkan surga. [HR Bukhari, no. 1773; Muslim, no.
1349].
Haji Merupakan Jihad
Bagi Orang Yang Lemah Dan Wanita
Dari Hasan bin ‘Ali, ia berkata: Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata : “Sesungguhnya aku seorang penakut dan lemah,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kemarilah menuju jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji.” [HR Thabrani, Shahih Jami’ush Shaghir, no. 7044].
Dari Hasan bin ‘Ali, ia berkata: Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata : “Sesungguhnya aku seorang penakut dan lemah,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kemarilah menuju jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji.” [HR Thabrani, Shahih Jami’ush Shaghir, no. 7044].
Dari ‘Aisyah, ia
berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ
نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ
أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Wahai Rasulullah, kami
(para wanita) melihat bahwa jihad adalah amal paling utama. Apakah kami boleh
ikut berjihad?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tidak.
Akan tetapi, jihad paling utama bagi kalian adalah haji mabrur.” [HR Bukhari,
no. 1520].
Haji adalah pergi ke
Baitullah di Makkah al Mukarramah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawwal,
Dzulqa’dah, dan sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Haji dilakukan
dengan menjalankan semua manasik (amalan-amalan dalam ibadah haji) yang telah
diajarkan Rasulullah.
Haji merupakan ibadah
yang berhubungan dengan harta dan jiwa. Ibadah haji ini membawa berbagai
pengaruh positif bagi individu dan masyarakat. Bahkan merupakan Muktamar Islam
Internasional. Yakni umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkesempatan untuk
bertemu dan saling mengenal.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman : Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dengan mengendarai
unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru dunia yang jauh, supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah
pada hari yang telah ditentukan, atas rizki yang Allah telah berikan kepada
mereka berupa binatang ternak, maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian
lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. [al
Hajj/22 : 27-29].
Karenanya, pahala haji
sangat besar. Rasulullah bersabda,”Tidak ada pahala bagi haji yang mabrur,
kecuali surga.”
Ibadah haji diwajibkan
pada tahun ke-6 Hijriah, melalui firman Allah : … mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan
perjalanan ke Baitullah… [Ali Imran/3 : 97].
f) RUKUN-RUKUN
ISLAM MERUPAKAN KESATUAN YANG SALING TERKAIT.
Barangsiapa yang
melaksanakan rukun-rukun tersebut secara utuh, ia adalah seorang muslim yang
sempurna imannya. Barangsiapa yang meninggalkan keseluruhannya, ia adalah
kafir. Barangsiapa yang mengingkari salah satu darinya, maka ia bukanlah orang
muslim. Barangsiapa yang meyakini keseluruhan namun mengabaikan salah satu
–selain dua kalimat syahadat– karena malas, ia adalah orang fasik. Barangsiapa
yang melaksanakan keseluruhannya dan mengakui secara lisan, namun hanya
kepura-puraan, maka ia adalah orang munafik.
g) TUJUAN
IBADAH
Ibadah dalam Islam
bukanlah sekadar bentuk dari kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai
tujuan mulia.
Shalat misalnya, tidak
akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji
dan munkar. Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak
meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat, tidak akan diterima jika
dilakukan hanya ingin dipuji orang lain. Meskipun demikian, bukan berarti
ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan.
Dalam kondisi seperti ini, seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya
seikhlas mungkin, dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari setiap ibadah
yang dilakukan.
h) CABANG-CABANG
IMAN
Perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits di atas bukanlah keseluruhan masalah yang ada dalam Islam. Penyebutan dalam hadits ini hanya terbatas pada perkara-perkara di atas, karena mengingat urgensi perkara-perkara tersebut. Masih banyak perkara-perkara lain dalam Islam yang tidak disebutkan. Rasulullah bersabda,”Iman mempunyai cabang hingga tujuh puluh lebih.” (Mutafaq ‘alaih).
Melalui hadits ini, kita
bisa memahami bahwa Islam adalah aqidah (keyakinan) dan perbuatan. Karenanya,
amal perbuatan akan sia-sia tanpa adanya iman. Dan iman tak bermakna, tanpa
adanya amal perbuatan.
2.2 LIMA PILAR SYARI’AT ISLAM
1.
Memelihara Agama (Hifdzh Al-Din/حفظ الدّين)
Hifdzh Al-din secara bahasa adalah menjaga atau mempertahankan agama, artinya Islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai keutuhan umat dengan menumbuhkan rasa nasionalisme tinggi terhadap agama dan bangsa, sehigga hal-hal yang dapat mempengaruhi terhadap keutuhan Islam sangat diperhatikan, demi menumbuhkan rasa nasionalisme itu Islam membuat peraturan jihad (perang) bagi siapa saja yang mencoba untuk memperkeruh keutuhan ummat, karena Islam sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kesatuan dan Islam juga merupakan agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulya dari Islam ”al islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi”.
Kewajiban untuk berjihad dalam Islam sangat erat sekali kaitannya dengan memelihara agama. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 193 sebagai berikut:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [4]
Berdasarkan ayat di atas, “tujuan disyari’atkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah”. [5]
Keputusan hukum mati bagi yang murtad bukanlah tanpa alasan semata. Pada dasarnya hukuman tersebut adalah untuk memelihara agama Islam. Sebelum kepada vonis hukuman mati, maka seorang yang murtad diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah ia mau bertobat atau tidak? “Jika dia bertobat yakni kembali kepada Islam, yaitu mengakui dua syahadat dengan tertib, pertama kali beriman kepada Allah, lalu kepada utusan-Nya, maka urusan selesai. Jika dibalik, maka tidak syah sebagaimana Nawawi dalam syarah Muhadzab ketika berbicara tentang niat wudhu”. [6] Itulah tahap pertama jika memang orang yang murtad itu kembali sadar pada rel atau jalan yang benar.
Jika dia tidak bertobat, maka dia dibunuh. Yakni pemerintah membunuhnya jika ia merdeka dengan memenggal kepalanya, bukan dengan membakar atau dengan sejenisnya. Dari Ibnu Abbas dia berkata, Nabi SAW. bersabda:
مّنْ بَدّّّّلَ دِيْنَهُ فَقْتُلُوْهُ. رَوَاهُ الْبُخَارِى
Barang siapa yang siapa yang mengganti agamanya (Islam), maka bunuhlah. (HR Al-Bukhori)
Dan berdasarkan sabda Nabi:
لاَ يَحِلُّ دَامٌ امْرِىءٍمُسْلِمٍ إِلّاَ بِإِحْدىَ ثَلَاثٍ:... الْمُفَارِقُ لِدِيْنِهِ الْتَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِمٌ
Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: …(karena) meninggalkan agamanya serta meninggalkan jama’ah. (HR Al-Bukhori dan Muslim). [7]
Pemeliharaan terhadap agama juga dapat dilakukan dengan ibadah-ibadah wajib, sebagaimana juga iman, syahadat, shalat, puasa dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk menjaga agama. Rincian lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut:
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]
2. Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs/حفظ النّفس)
Hifdzh An-nafsi artinya menjaga dan mempertahankan jiwa. Setiap manusia diberi kebebasan dan diberi hak untuk melindungi diri dari berbagai macam bentuk uaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi tanggunganya (istri, anak, budak dan yang menjadi tanggunganya). Untuk itu dalam Islam dibuat aturan seperti Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu).
Hukum qishas pun digulirkan terhadap yang melakukan pembunuhan tanpa hak. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh (2): 178-179 sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [9]
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat memahami, hukum qishah itu memberikan efek jera. Efek jera itu tidak hanya dirasakan oleh orang yang membunuh, akan tetapi orang yang tidak membunuh pun turut merasakannya, sehingga dengan adanya qishah ini jiwa ini sungguh sangat berharga. Bahkan tidak hanya itu, ternyata “jika keluarga korban (yang dibunuh) mampu memaafkan si pembunuh, maka si pembunuh diwajibkan membayar denda (diyat) kepada keluarga korban dengan cara yang baik. Dan diat itu merupakan salah satu bentuk dispensasi dan kasih sayang (rahmat) dari Allah”. [10]
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat sebagai berikut:
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum. [11]
3. Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql/حفظ العقل)
Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan akal, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Syaikh Al-Albani berkata, ‘Akal menurut asal bahasa adalah at-tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf’. [12]
Islam mengharamkan khamer dan sesuatu yang memabukan sejenisnya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa khamer atau berbagai minuman keras itu memiliki mafsadat atau dosa yang jauh lebih besar dari manfaatnya. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 219 sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. [13]
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al-Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil qiyas dari khamer. Karena sebab atau illat pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Peminum minuman keras dikenakan sanksi dengan hukum had yang berupa cambukan sebanyak empat puluh kali cambukan sebagaimana sabda Nabi:
عّن أَنَسِ بْْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَنَّ النَّبِىَّ ص أَُتَى بِرَجُلٍ قََدْ شَرِِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِِجِرَيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ , قَالَ ( اَىْ اَنَس ) وَفَعَلَهُ اَبُو بَكْرٍ.
Dari Annas bin Malik r.a. ia berkata: bahwasanya Nabi SAW. beliau mendatangi seseorang yang telah minum khamer, maka beliau mencambuknya dengan dua cambuk sekitar empat puluh kali. [14]
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [15]
4. Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl/حفظ النّسل)
Hifdzh al-nasl artinya menjaga keturunan. Demi menjaga kelestarian umat diperlukan adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluq yang dipercaya oleh Allah menjadi kholifah di bumi ini perlu kiranya manusia menyadari bahwa populasi sangat diperlukan. Hal itu semata hanyalah sebagai upaya menjaga amanah dari Allah SWT. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan adanya peraturan yang menangani masalah itu, dalam Islam di berlakukan hukum nikah lengkap dengan syarat rukun dan yang berkaitan denganya semisal tholaq (cerai), ruju’ (kembali pada istri setelah menjatuhkan talaq), khulu’ (gugatan dari istri minta di cerai suami), dan yang lainnya seprti larangan zina, nikah mut’ah (kawin kontrak).
Pernikahan dalam Islam sebagai salah satu jalan untuk memelihara keturunan. Seseorang yang berhasrat untuk melakukan hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan harus dilakukan dengan cara yang telah diatur oleh Allah SWT. Dengan kata lain, bahwa setiap anak manusia tidak pernah berani melakukan hubungan seksual tersebut tanpa melalui cara-cara yang pastinya diridhoi oleh Allah SWT, yakni melalui syari’at pernikahan.
Syari’at hukum pernikahan dalam Islam merupakan suatu terobosan baru dalam rangka memberikan solusi atas tata hukum pernikahan yang terjadi di zaman Jahiliyah. Aturan orang Arab Jahiliyah mengenai perkawinan sungguh sangat tidak manusiawi, terutama dalam hal tidak adanya pengakuan terhadap harkat dan martabat kaum wanita. Seperti halnya diatur dalam firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 19 sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. [16]
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga:
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. [17]
5. Memelihara Harta (Hifzh Al-Maal/حفظ المال)
Hifdhu Al-mal artinya melindungi dan menjaga harta kekayaan dari ulah jahil pihak lain. Begitu pedulinya Islam terhadap keutuhan umat, Islam memberikan hak pada masing-masing untuk mempertahankan segala apa yang ada dalam genggamanya sehingga diharapkan akan terwujud situasi yang kondusif aman terkandali karena masing-masing merasa punya hak dan kewajiban, untuk mewujudkan itu diberlakukan hukum sanksi bagi yang melanggar diantaranya:
Had sariqoh (sanksi bagi pencuri) dengan cara potong tangan, Had ikhtilas (sanksi bagi pencopet), had qothi’utthoriq (sanksi bagi penodong), ta’zir bagi pelaku ghosob, dan lain-lain. Tentang cara dan bentuk sanksi yang diberikan bagi para pelaku tindak kriminal di atas itu ada beberapa perincian yang telah disebutkan dalam beberapa kitab fiqih, tidak cukup hanya peraturan tentang sanksi, Islam juga telah menerapkan beberapa trik dan cara untuk menjadikan harta menjadi harta yang baik halal dengan cara di buat aturan-aturan infestasi yang baik dan menguntungkan hal itu terbukti dengan adanya aturan-aturan dalam bai’ (transaksi jual beli), syirkah (modal bersama atau koperasi), ijaroh (sewa), rohn (gadai), qirodh (tanam modal), dan lain-lain.
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. [18]
Hifdzh Al-din secara bahasa adalah menjaga atau mempertahankan agama, artinya Islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai keutuhan umat dengan menumbuhkan rasa nasionalisme tinggi terhadap agama dan bangsa, sehigga hal-hal yang dapat mempengaruhi terhadap keutuhan Islam sangat diperhatikan, demi menumbuhkan rasa nasionalisme itu Islam membuat peraturan jihad (perang) bagi siapa saja yang mencoba untuk memperkeruh keutuhan ummat, karena Islam sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kesatuan dan Islam juga merupakan agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulya dari Islam ”al islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi”.
Kewajiban untuk berjihad dalam Islam sangat erat sekali kaitannya dengan memelihara agama. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 193 sebagai berikut:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [4]
Berdasarkan ayat di atas, “tujuan disyari’atkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah”. [5]
Keputusan hukum mati bagi yang murtad bukanlah tanpa alasan semata. Pada dasarnya hukuman tersebut adalah untuk memelihara agama Islam. Sebelum kepada vonis hukuman mati, maka seorang yang murtad diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah ia mau bertobat atau tidak? “Jika dia bertobat yakni kembali kepada Islam, yaitu mengakui dua syahadat dengan tertib, pertama kali beriman kepada Allah, lalu kepada utusan-Nya, maka urusan selesai. Jika dibalik, maka tidak syah sebagaimana Nawawi dalam syarah Muhadzab ketika berbicara tentang niat wudhu”. [6] Itulah tahap pertama jika memang orang yang murtad itu kembali sadar pada rel atau jalan yang benar.
Jika dia tidak bertobat, maka dia dibunuh. Yakni pemerintah membunuhnya jika ia merdeka dengan memenggal kepalanya, bukan dengan membakar atau dengan sejenisnya. Dari Ibnu Abbas dia berkata, Nabi SAW. bersabda:
مّنْ بَدّّّّلَ دِيْنَهُ فَقْتُلُوْهُ. رَوَاهُ الْبُخَارِى
Barang siapa yang siapa yang mengganti agamanya (Islam), maka bunuhlah. (HR Al-Bukhori)
Dan berdasarkan sabda Nabi:
لاَ يَحِلُّ دَامٌ امْرِىءٍمُسْلِمٍ إِلّاَ بِإِحْدىَ ثَلَاثٍ:... الْمُفَارِقُ لِدِيْنِهِ الْتَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِمٌ
Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: …(karena) meninggalkan agamanya serta meninggalkan jama’ah. (HR Al-Bukhori dan Muslim). [7]
Pemeliharaan terhadap agama juga dapat dilakukan dengan ibadah-ibadah wajib, sebagaimana juga iman, syahadat, shalat, puasa dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk menjaga agama. Rincian lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut:
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]
2. Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs/حفظ النّفس)
Hifdzh An-nafsi artinya menjaga dan mempertahankan jiwa. Setiap manusia diberi kebebasan dan diberi hak untuk melindungi diri dari berbagai macam bentuk uaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi tanggunganya (istri, anak, budak dan yang menjadi tanggunganya). Untuk itu dalam Islam dibuat aturan seperti Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu).
Hukum qishas pun digulirkan terhadap yang melakukan pembunuhan tanpa hak. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh (2): 178-179 sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [9]
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat memahami, hukum qishah itu memberikan efek jera. Efek jera itu tidak hanya dirasakan oleh orang yang membunuh, akan tetapi orang yang tidak membunuh pun turut merasakannya, sehingga dengan adanya qishah ini jiwa ini sungguh sangat berharga. Bahkan tidak hanya itu, ternyata “jika keluarga korban (yang dibunuh) mampu memaafkan si pembunuh, maka si pembunuh diwajibkan membayar denda (diyat) kepada keluarga korban dengan cara yang baik. Dan diat itu merupakan salah satu bentuk dispensasi dan kasih sayang (rahmat) dari Allah”. [10]
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat sebagai berikut:
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum. [11]
3. Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql/حفظ العقل)
Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan akal, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Syaikh Al-Albani berkata, ‘Akal menurut asal bahasa adalah at-tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf’. [12]
Islam mengharamkan khamer dan sesuatu yang memabukan sejenisnya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa khamer atau berbagai minuman keras itu memiliki mafsadat atau dosa yang jauh lebih besar dari manfaatnya. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 219 sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. [13]
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al-Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil qiyas dari khamer. Karena sebab atau illat pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Peminum minuman keras dikenakan sanksi dengan hukum had yang berupa cambukan sebanyak empat puluh kali cambukan sebagaimana sabda Nabi:
عّن أَنَسِ بْْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَنَّ النَّبِىَّ ص أَُتَى بِرَجُلٍ قََدْ شَرِِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِِجِرَيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ , قَالَ ( اَىْ اَنَس ) وَفَعَلَهُ اَبُو بَكْرٍ.
Dari Annas bin Malik r.a. ia berkata: bahwasanya Nabi SAW. beliau mendatangi seseorang yang telah minum khamer, maka beliau mencambuknya dengan dua cambuk sekitar empat puluh kali. [14]
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [15]
4. Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl/حفظ النّسل)
Hifdzh al-nasl artinya menjaga keturunan. Demi menjaga kelestarian umat diperlukan adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluq yang dipercaya oleh Allah menjadi kholifah di bumi ini perlu kiranya manusia menyadari bahwa populasi sangat diperlukan. Hal itu semata hanyalah sebagai upaya menjaga amanah dari Allah SWT. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan adanya peraturan yang menangani masalah itu, dalam Islam di berlakukan hukum nikah lengkap dengan syarat rukun dan yang berkaitan denganya semisal tholaq (cerai), ruju’ (kembali pada istri setelah menjatuhkan talaq), khulu’ (gugatan dari istri minta di cerai suami), dan yang lainnya seprti larangan zina, nikah mut’ah (kawin kontrak).
Pernikahan dalam Islam sebagai salah satu jalan untuk memelihara keturunan. Seseorang yang berhasrat untuk melakukan hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan harus dilakukan dengan cara yang telah diatur oleh Allah SWT. Dengan kata lain, bahwa setiap anak manusia tidak pernah berani melakukan hubungan seksual tersebut tanpa melalui cara-cara yang pastinya diridhoi oleh Allah SWT, yakni melalui syari’at pernikahan.
Syari’at hukum pernikahan dalam Islam merupakan suatu terobosan baru dalam rangka memberikan solusi atas tata hukum pernikahan yang terjadi di zaman Jahiliyah. Aturan orang Arab Jahiliyah mengenai perkawinan sungguh sangat tidak manusiawi, terutama dalam hal tidak adanya pengakuan terhadap harkat dan martabat kaum wanita. Seperti halnya diatur dalam firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 19 sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. [16]
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga:
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. [17]
5. Memelihara Harta (Hifzh Al-Maal/حفظ المال)
Hifdhu Al-mal artinya melindungi dan menjaga harta kekayaan dari ulah jahil pihak lain. Begitu pedulinya Islam terhadap keutuhan umat, Islam memberikan hak pada masing-masing untuk mempertahankan segala apa yang ada dalam genggamanya sehingga diharapkan akan terwujud situasi yang kondusif aman terkandali karena masing-masing merasa punya hak dan kewajiban, untuk mewujudkan itu diberlakukan hukum sanksi bagi yang melanggar diantaranya:
Had sariqoh (sanksi bagi pencuri) dengan cara potong tangan, Had ikhtilas (sanksi bagi pencopet), had qothi’utthoriq (sanksi bagi penodong), ta’zir bagi pelaku ghosob, dan lain-lain. Tentang cara dan bentuk sanksi yang diberikan bagi para pelaku tindak kriminal di atas itu ada beberapa perincian yang telah disebutkan dalam beberapa kitab fiqih, tidak cukup hanya peraturan tentang sanksi, Islam juga telah menerapkan beberapa trik dan cara untuk menjadikan harta menjadi harta yang baik halal dengan cara di buat aturan-aturan infestasi yang baik dan menguntungkan hal itu terbukti dengan adanya aturan-aturan dalam bai’ (transaksi jual beli), syirkah (modal bersama atau koperasi), ijaroh (sewa), rohn (gadai), qirodh (tanam modal), dan lain-lain.
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. [18]
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pengetahuan tentang maqashid
al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab Al-Khallaf adalah berperan
sebagai alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur`an dan Sunnah, menyelesaikan
dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan
sunnah secara kajian kebahasaan.
Ketetapan hukum dalam Islam tentunya memiliki argumentasi yang bisa diterima oleh akal manusia. Dalam Islam perintah atau larangan tidaklah diberlakukan tanpa maksud. Islam memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu demi menjaga atau melindungi lima hal yang dikenal sebagai maqashid asy-syariah. Kelima hal itu adalah hifdzh al-din (memelihara agama), hifdzh al-‘aql (memelihara akal), hifdzh al-mal (memelihara harta benda), hifdzh al-nafs (memelihara hak hidup), dan hifdzh al-nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil 'alamin.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin juga dapat ditelusuri dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perseorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.
Ketetapan hukum dalam Islam tentunya memiliki argumentasi yang bisa diterima oleh akal manusia. Dalam Islam perintah atau larangan tidaklah diberlakukan tanpa maksud. Islam memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu demi menjaga atau melindungi lima hal yang dikenal sebagai maqashid asy-syariah. Kelima hal itu adalah hifdzh al-din (memelihara agama), hifdzh al-‘aql (memelihara akal), hifdzh al-mal (memelihara harta benda), hifdzh al-nafs (memelihara hak hidup), dan hifdzh al-nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil 'alamin.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin juga dapat ditelusuri dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perseorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.
3.2
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai
materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Abul Fida' Imaduddin
Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Al-Bushrawi, Tafsiir Al-Qur’an Al-‘Adzim,
Jilid I. Qohiroh: Dar Al-Hadits, 2002.
Al-Bigha, Mustofa Dib, Fikih Islam: Lengkap dan Praktis, Penyusun Achmad Sunarto. Surabaya: Insan Amanah, 2000.
Al-Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah Al-Syariah Al-Islamiyah. Kairo: Maktabah Wabah, 1991.
As-Shobuniy, Muhammad Ali, Shofwah At-Tafaasir, Jilid I. Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006.
As-Syathiby, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fii Ushul Al-Syari’ah, jilid 2. Beirut: Dar Ma’rifah, Tt.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.
Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H.
Al-Bigha, Mustofa Dib, Fikih Islam: Lengkap dan Praktis, Penyusun Achmad Sunarto. Surabaya: Insan Amanah, 2000.
Al-Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah Al-Syariah Al-Islamiyah. Kairo: Maktabah Wabah, 1991.
As-Shobuniy, Muhammad Ali, Shofwah At-Tafaasir, Jilid I. Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006.
As-Syathiby, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fii Ushul Al-Syari’ah, jilid 2. Beirut: Dar Ma’rifah, Tt.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.
Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H.
Thaha Ahmadie, SHAHIH
BUKHARI 1. (JAKARTA; PUSTAKA PANJI MAS)
Komentar
Posting Komentar