MAKALAH BANGUNAN ISLAM (TUGAS MATA KULIAH AGAMA ISLAM) SISTEM INFORMASI SEMESTER 1

BANGUNAN ISLAM

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembimbing : Heriamo, S.Ag, MSI



  Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
·        APRIANTO A.
·        ELLIS MAULANA
·        FIRSTYAN JUNIAR
·        NOR HIKMAH RASYID

JURUSAN SISTEM INFORMASI
STMIK BORNEO INTERNASIONAL PENAJAM
2016




KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah,  karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas Bangunan Islam sebagai salah satu tugas mata kuliah Agama Islam.
Dalam  proses penyusunan makalah ini,  tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya  untuk pihak yang membantu.
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat.

                                                                                     Penajam, November 2016
                                                                                     Penyusun


DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar........................................................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................................................ ii
     BAB I
     PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1
1.1.   Latar Belakang...................................................................................................................... 1
1.2.   Rumusan Masalah................................................................................................................. 1
1.3.   Tujuan ................................................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 2
2.1.   Bangunan Islam (syarah Rukun Islam)(1)............................................................................ 2
a)      Takhrij Hadits........................................................................................................................ 2
b)      Urutan Haji dan Puasa dalam Hadits..................................................................................... 2
c)       Ahammiyatul Hadits (Urgensi Hadits)................................................................................. 3
d)     Syarah Hadits......................................................................................................................... 4
e)      Bangunan Islam..................................................................................................................... 6
f)       Rukun-Rukun Islam............................................................................................................ 23
g)      Tujuan Ibadah...................................................................................................................... 23
h)      Macam-Macam Iman.......................................................................................................... 24
2.2.   Lima Pilar Syari’at Islam.................................................................................................... 24
a)      Memelihara Agama (Hifdzh Al-Din/حفظ الدّين)............................................................... 25
b)      Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs/حفظ النّفس)................................................................... 26
c)      Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql/حفظ العقل).................................................................... 27
d)     Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl/حفظ النّسل)........................................................... 28
e)      Memelihara Harta (Hifzh Al-Maal/حفظ المال).................................................................. 29
     BAB III
     PENUTUP....................................................................................................................................... 30
3.1.   Kesimpulan.......................................................................................................................... 30
3.2.   Penutup................................................................................................................................ 31
Daftar Pustaka...................................................................................................................................... 32


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Sebuah bangunan tidak akan berdiri kokoh tanpa adanya pilar atau penopang bangunan tersebut. Ketahanannya amat bergantung dari seberapa kuat pilar-pilar itu dibuat sehingga nantinya ia tidak akan hanyut disapu gelombang maupun luluh lantak digunacang gempa. Begitu pula dengan keislaman pada diri seorang muslim, terdapat berbagai sendi dan pilar-pilar yang harus dipersiapkan. Semua itu haruslah dipelajari dan diamalkan oleh setiap orang muslim.
Islam dibangun atas lima perkara: Kesaksian bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad Adalah Rasul Allah, Mendirikan Solat, Berpuasa di Bulan Ramadhan, Menunaikan Zakat, Haji ke Rumah Allah (Bagi Yang Mampu).


1.2.   Rumusan Masalah
1)      Apa saja konsep islam?
2)      Mengapa disebut bangunan islam?
3)      Apa saja bangunan islam?
4)      Apa saja 5 pilar dalam bangunan islam

1.3.   Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
1)      Untuk mengetahui terdiri dari apa saja konsep islam itu..
2)      Untuk mengetahui pondasi dari bangunan islam



BAB II
PEMBAHASAN


2.1     Bangunan Islam (Syarat Rukun Islam) (1)
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الَّرحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم)
Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. [HR Bukhari dan Muslim].
a)      TAKHRIJ HADITS
1. Shahihul Bukhari, Kitabul Iman, Bab al Iman wa Qaulin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Buniyal Islamu ‘ala khamsin”, no. 8.
2. Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu Arkanil Islam, no.16.
3. Sunan at Tirmidzi, Kitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
4. Sunan an Nasaa-i, Kitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
5. Musnad Imam Ahmad, II/26, 93, 120, 143.
6. Al Humaidi, no. 703.
7. Ibnu Hibban, no. 158 dan 1446.
b)     URUTAN HAJI DAN PUASA DALAM HADITS
Terdapat perbedaan penentuan urutan haji dan puasa dalam periwayatan hadits ini. Sebagian perawi meriwyatkan dengan mendahulukan haji atas puasa dan ada sebagian lain yang mendahulukan puasa dari haij. Berikut ini keterangan ulama seputar masalah ini.
Menurut Imam Ibnu Daqiqil ‘Id (wafat th. 702 H), pada beberapa riwayat disebutkan haji lebih dahulu daripada puasa. Hal ini keraguan dari perawi. Wallahu a’lam. Oleh karena itu, ketika Ibnu ‘Umar mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya, lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia berkata,”Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” (Muslim, no.16) (19).
Menurut Imam an Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits ini, ia berkata: “Demikianlah, dalam riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekadar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa lebih dahulu daripada haji”. [Syarah Muslim, I/178,179].
c)      AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Hadits ini mempunyai kedudukan yang agung, karena menerangkan asas dan kaidah-kaidah Islam, yakni Islam dibangun di atasnya, yang dengannya seorang hamba menjadi Muslim. Dan tanpa asas ini, seorang hamba berarti keluar dari agama.
Imam Nawawi berkata,”Sesungguhnya hadits ini merupakan pijakan yang agung dalam mengenal agama Islam. Dengan dasar hadits ini tegaknya agama Islam. Hadits ini mengumpulkan rukun-rukunnya”. [Syarah Muslim, I/179].
Abul Abbas al Qurthubi (wafat th. 671H) berkata,”Lima hal tersebut menjadi asas dan landasan tegaknya agama Islam. Lima hal di atas disebut secara khusus, tanpa menyebutkan jihad –padahal jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang kafir– karena kelima hal tersebut merupakan salah satu fardhu kifayah. Sehingga, pada saat tertentu kewajiban tersebut bisa menjadi gugur.” [Syarah Arba’in an Nawawiyah, hlm. 37, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id].
Ibnu Rajab mengatakan, jihad tidak disebutkan pada hadits Ibnu ‘Umar di atas, padahal jihad merupakan amal perbuatan termulia. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa, Ibnu Umar ‘ditanya : “Bagaimana dengan jihad?” Ibnu ‘Umar menjawab,”Jihad itu bagus, namun hanya hadits itulah yang aku terima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Diriwayatkan Imam Ahmad].
Disebutkan di hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu : “Pokok segala sesuatu ialah Islam, tiangnya shalat, dan puncaknya ialah jihad”.
Kendati keberadaan jihad menduduki tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun jihad bukan merupakan salah satu tiang dan rukunnya, tempat bangunan Islam dibangun di atasnya, karena dua sebab. Pertama, jihad -menurut jumhur ulama- adalah fardhu kifayah dan bukan fardhu ‘ain. Ini berbeda dengan kelima rukun di atas. Kedua, jihad tidak berlangsung hingga akhir zaman. Jika Nabi Isa q telah turun dan ketika itu tidak ada agama selain Islam, maka dengan sendirinya perang berhenti, tidak lagi membutuhkan jihad. Ini berbeda dengan kelima rukun Islam yang tetap diwajibkan kepada kaum Mukminin hingga keputusan Allah datang kepada mereka, dan ketika itu mereka dalam keadaan seperti itu. Wallahu a’lam. [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I/152].
d)     SYARAH HADITS
Maksud hadits di atas ialah, Islam dibangun di atas lima hal. Dan ia seperti tiang-tiang bangunannya.
Hadits di atas diriwayatkan Muhammad bin Nashr al Marwazi dalam Kitabush Shalat, no. 413, sanadnya shahih menurut syarat Muslim. Redaksinya berbunyi :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسِ دَعَائِمَ
Islam dibangun di atas lima tiang …
Maksud hadits tersebut adalah, penyerupaan Islam dengan bangunan. Adapun tiang-tiang bangunan tersebut berupa kelima hal tersebut. Jadi, bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya. Sedangkan ajaran-ajaran Islam lainnya berfungsi sebagai penyempurna bangunan. Jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut hilang dari bangunan Islam, maka bangunan itu berkurang, namun tetap bisa berdiri dan tidak ambruk, meskipun berkurangnya salah satu dari penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang tersebut ambruk, maka Islam akan runtuh disebabkan tidak adanya kelima tiang penyangga tersebut.
Islam juga ambruk dengan hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat ialah, beriman kepada Allah dan RasulNya.
Disebutkan dalam riwayat Bukhari “Islam dibangun atas lima: beriman kepada Allah dan RasulNya, … dan seterusnya” (no. 4514). Dalam riwayat Muslim disebutkan “Islam dibangun atas lima: hendaknya mentauhidkan Allah…” (no. 16)(19). Dalam riwayat Muslim lainnya (no.16)(20) disebutkan :
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسٍ: أن يُعبَدَ اللهُ وَيُكفَرَ بِمَا دُونَهُ…
Islam dibangun atas lima: hendaknya beribadah kepada Allah dan mengingkari peribadahan kepada selainNya… [Lihat penjelasan Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, I/145].
Seorang hamba tidak dikatakan Islam, sehingga dia melaksanakan asas, tiang dan rukun Islam yang dijelaskan dalam hadits ini. Rasulullah n memberikan perumpamaan asas dan tonggak ini sebagai bangunan yang kuat dan kokoh. Orang yang tidak berdiri di atas tonggak ini, maka dia akan binasa. Adapun perkara-perkara Islam lainnya yang wajib, ia sebagai penyempurna bagi rukun Islam ini.
Bangunan ini sangat dibutuhkan oleh seorang hamba. Empat tiang yang disebutkan dalam hadits ini, dibangun di atas dua kalimat syahadat, Asyhadu an-la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar- Rasulullah. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan menerima sesuatu pun dari amal seseorang tanpa syahadatain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebut rukun-rukun iman yang wajib lainnya, karena beriman bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, memiliki konsekwensi mengimani seluruh yang disebutkan dalam masalah keyakinan dan ibadah, sebagaimana juga tidak disebutkan tentang jihad, padahal jihad merupakan kewajiban yang besar, yang dengannya kejayaan Islam ditegakkan, panji-panji Islam dikibarkan, dan dengannya orang-orang kafir dan munafik diperangi. Tidak disebutkannya jihad, karena jihad adalah fardhu kifayah yang tidak diwajibkan kepada setiap orang, melainkan pada keadaan-keadaan tertentu saja. [Lihat Qawaid wa Fawaid Minal Arba’in an Nawawiyah, hlm. 53,54].



e)      BANGUNAN ISLAM
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm mengilustrasikan Islam dengan sebuah bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas pondasi-pondasi yang kokoh. Pondasi-pondasi tersebut sebagai berikut.
Pertama. Dua Kalimat Syahadat.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَََّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ
Makna Laa Ilaaha Illallaah.
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِِِِِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (laa ma’buda bi haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kubur, pohon, batu, kayu dan lainnya, semuanya merupakan sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak dapat menolak bahaya.
Firman Allah:
وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ#$
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. [Yunus/10:106].
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [al Hajj/22 : 62].
Penafsiran Yang Salah Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas.
– Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ مَعْبُوْدَ إلاَّ اللهِ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah); padahal makna tersebut rancu, karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.
– Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah); padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ(laa ilaaha illallaah). Dan penafsiran ini masih berupa tauhid rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Demikian ini yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
– Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ لِلّه (tidak ada hak untuk menghukumi kecuali hanya bagi Allah); padahal pengertian ini juga tidak cukup, karena apabila mengesakan Allah dengan pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Kuasa saja lalu berdo’a kepada selainNya, atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selainNya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar. [1]
– Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin ditanya tentang penafsiran la ilaha illallaah. Penafsiran tersebut ialah “mengeluarkan keyakinan yang jujur dari segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang jujur atas Dzat Allah”.
Menjawab tentang penafsiran ini, Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Ini merupakan penafsiran batil, tidak dikenal oleh Salafush Shalih; karena bukan demikian yang dimaksud dengan meyakini Allah dan mengeluarkan keyakinan dari selainnya. Ini tidak mungkin, karena keyakinan ada juga pada selain Allah. Sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya denga ‘ainul yaqin QS at Takatsur/102 ayat 6-7), meyakini sesuatu yang konkrit sudah diketahui tidak menafikan tauhid. Jadi, berdasarkan pengertian ini, maka tafsir di atas tertolak”.[2]
Rukun Laa Ilaaha Illallaah.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
– النَّفْيُ (mengingkari). Yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– اْلإِثْبَاتُ (menetapkan). Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tidak ada sekutu bagiNya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Barangsiapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al Baqarah/2 : 256].
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [an Nahl/16 : 36].
Makna Dari Syahadat Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. [an Nisaa`/4 : 13].
– تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ$
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya… [al Hadid/ 57 : 28].
– اجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
… Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah… [al Hasyr/59 : 7].
– أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut yang telah disyari’atkan dan dicontohkan Nabi Muhammad. Kita wajib ittiba` kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali ‘Imran/3 : 31].[3]
Kesaksian bahwa, tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Nabi Muhammad n adalah utusan Allah, artinya, mengakui adanya Allah yang Tunggal, serta membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rukun ini ibarat pondasi bagi rukun-rukun yang lain. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ…
Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah… [HR Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22, dan Ibnu Hibban, no. 175].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَن قَالَ: لاَإِلهَ إلاَّ الله مُخْلِصًا دَخَلَ الجَنّة
Barangsiapa yang menyatakan tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dengan penuh keikhlasan, maka ia akan masuk surga. [HR al Bazzar].
Kedua. Menegakkan Shalat.
Shalat merupakan hubungan antara hamba dengan Rabb-nya yang wajib dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah dan ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلُّوا كمَا رَأيتُمُونِى أُصَلَّي
Shalatlah, sebagaimana kalian melihat aku shalat. [HR Bukhari].
Beruntunglah orang yang melaksanakan shalat dengan khusyu` dan thuma’ninah. Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya. [al Mu’minun/23 : 1, 2].
Barangsiapa yang menjaga shalat yang lima waktu, maka pada hari kiamat, ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dia dijanjikan oleh Allah akan dimasukkan ke dalam surga.
Shalat akan mendidik seorang muslim agar selalu takut dan mengharap kepada Allah. Yang dengannya, seorang muslim akan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah. Allah berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al ‘Ankabut/29 : 45].
Shalat merupakan amal yang pertama dihisab pada hari Kiamat. Rasulullah n bersabda:
أوّل مَايُحَاسَبُ بِهِ العَبدُ يَوم القِيَامَة الصَّلاةُ, فَإن صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ, وَإن فَسَدَت فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya. Dan apabila shalatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya. [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, II/512 no.1880, dari sahabat Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 1358].
Shalat yang wajib akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, dalam masalah shalat, seorang muslim harus memperhatikan :
– Harus dikerjakan pada waktunya, dab yang utama ialah di awal waktu.
– Harus dikerjakan dengan khusyu` dan thuma’ninah.
– Harus dikerjakan sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari mulai takbir sampai salam. [4]
– Bagi laki-laki, mengerjakannya dengan berjama’ah di masjid.
Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat.
Para ulama kaum Muslimin telah sepakat, orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam.
Adapun orang yang meninggalkan shalat karena malas atau sibuk dengan tanpa alasan, sementara itu orang tersebut memiliki keyakinan tentang wajibnya, dalam hal ini para ulama berselisih paham tentang hukumnya.
Pendapat Pertama mengatakan, bahwa mereka telah kafir. Sahabat yang berpendapat seperti itu adalah Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdullah dan Abu Darda’. Adapun selain sahabat yang berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abdullah bin Mubarak serta an Nakhaa-i. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah bersabda.
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. [HR Muslim, no. 82].
Dari ‘Abdullah bin Syaqiq al ‘Uqaili, ia berkata :
كانَ أَصحَابُ رسُول الله لاَ يَرَونَ مِنَ الأَعْمَالِ شَيئًا تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat sesuatu amal yang ditinggalkan menjadi kufur, kecuali shalat. [HR Tirmidzi, no. 2622].
Pendapat Kedua mengatakan, bahwa mereka adalah fasik tanpa mengkafirkannya. Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama salaf, di antaranya Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah :
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah atas hamba-hambaNya. Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikit pun dan meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah yang akan memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Kalau mau, Allah akan menyiksanya. Dan kalau mau, Allah akan mengampuninya. [HR Ahmad dan Malik]
Adapun syahid dari hadits ini, bahwa orang yang meninggalkan shalat, bisa jadi ia akan diampuni. Ini menunjukkan, meninggalkannya tidak termasuk kufur hakiki. Seandainya itu kufur, maka pelakunya akan terhalang dari ampunan Allah. Begitu juga tidak kekalnya ia dalam neraka menunjukkan bahwa, meninggalkan shalat tidak termasuk kufur hakiki. Karena orang yang kafir akan kekal selama-lamanya di neraka. Juga dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. [an Nisaa`/4 : 116].
Juga pertanyaan Shilah bin Zufar kepada Hudzaifah : “Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji dan shadaqah?” Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzaifah menjawab,”Wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga kali. [HR Ibnu Majah, no. 4049 dan Hakim, IV/473, 545].
Ketika mengomentari hadits ini, Syaikh al Albani berkata : “Hadits ini mengandung hukum fiqih yang penting. Bahwa syahadat dapat menyelamatkan orang yang mengucapkannya dari kekekalan di neraka kelak pada hari Kiamat, sekalipun ia tidak menjalankan rukun islam lainnya, seperti shalat dan lain-lain,” kemudian beliau melanjutkan,”Saya menilai, yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh jumhur (mayoritas ulama). Dan pendapat yang dikemukakan sahabat tentang pengkafiran itu, bukanlah kafir yang menjadikannya kekal di neraka, yang tidak mungkin diampuni oleh Allah. Mengapa begitu? Sebab Shilah bin Zhufar yang pemahamannya hampir sama dengan Imam Ahmad ketika bertanya ‘Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat …, lalu Hudzaifah menjawab, wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka,’ perkataan ini diucapkannya tiga kali. Ini merupakan penyataan dari Hudzaifah bahwa, orang yang meninggalkan shalat dan selainnya dari rukun-rukun, ia tidak kafir; bahkan dia seorang muslim yang akan selamat dari kekekalan dalam neraka pada hari Kiamat”. [Lihat Silsilah Ahadits ash Shahihah, I/175 no. 87, al Qismul Awwal]
.
Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) mengatakan, orang yang meninggalkan shalat wajib, maka dia telah melakukan dosa besar yang paling besar. Dosanya, lebih besar di sisi Allah dari membunuh, mengambil harta, berzina, mencuri dan minum khamr. Orang yang meninggalkan shalat wajib, ia akan mendapat kemurkaan Allah dan dihinakan di dunia dan akhirat. [Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29]


Ketiga Puasa Ramadhan.
Puasa pada bulan Ramadhan hukumnya wajib. Allah l berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ$
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al Baqarah/2 : 183].
Anjuran Untuk Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِه
Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. [HR Bukhari, no. 1901; Muslim, no. 760].
Syaikh al Albani berkata,”Apabila seorang manusia tidak memiliki dosa, maka puasa akan menjadi sebab terangkatnya derajatnya, sebagaimana yang terjadi pada anak-anak yang tidak berdosa.”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ, وَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانِ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ, إِذَا اجْتُنِبَتِ الكَبَائِرُ
Shalat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at berikutnya, akan menghapuskan dosa di antara keduanya selama tidak berbuat dosa besar. Dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, akan menghapuskan dosa yang terjadi di antaranya, jika dosa-dosa besar dihindari. [HR Muslim, no. 233 (16)].
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أتاكم شهرُ رَمَضَانَ, شَهرٌ مُبَارَكٌ, فَرَضَ اللهُ عَلَيكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ, وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ, وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ, فِيْهِ لَيْلَةٌ هِيَ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهْرٍ, مَن حُرِمَ خَيرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pada bulan Ramadhan, Allah akan membukakan pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka, dan akan membelenggu para setan yang jahat. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang dicegah dari kebaikannya, maka ia telah tercegah. [HR an Nasaa-i, IV/129; Ahmad, II/230].
Tentang makna dibelenggunya setan-setan yang jahat, Imam al Mundziri mengatakan : “Sesungguhnya para setan tidak tulus dalam mengganggu manusia pada bulan Ramadhan, seperti tulusnya gangguan mereka pada bulan-bulan yang lain. Dikarenakan kaum Muslimin sibuk dengan berpuasa yang dapat mengekang hawa nafsu, membaca al Qur`an, serta ibadah-ibadah lainnya”. [Shahih at Targhib wa Tarhib, I/586]
Ancaman Bagi Orang Yang Sengaja Tidak Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Umamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika tengah tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal, seraya berkata,’Naiklah’.”
Lalu kukatakan: “Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya,” selanjutnya keduanya berkata: “Kami akan memudahkan untukmu”.
Maka aku pun menaikinya, sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras, sehingga kutanyakan: “Suara apakah itu?’
Mereka menjawab,”Yang demikian itu adalah jeritan para penghuni neraka”.
Kemudian dia membawaku berjalan, dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan robekan itu mengalirkan darah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, kemudian aku katakan: “Siapakah mereka itu?”
Dia menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktu berbuka.” [HR Hakim, I/430 dan lainnya].
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-3 Hijriyah, melalui firman Allah, bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al Qur`an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara kebenaran dan kebathilan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang masuk bulan (Ramadhan), maka puasalah … – al Baqarah/2 : 185.
Puasa merupakan ibadah yang dapat mensucikan jiwa, membersihkan hati dan menyehatkan tubuh. Barangsiapa yang berpuasa karena semata-mata menjalankan perintah Allah dan mencari keridhaanNya, maka puasa tersebut akan menghapuskan dosa-dosanya, dan menjadi sarana untuk mendapatkan surga.

Keempat. Menunaikan Zakat.
Allah telah mewajibkan zakat atas setiap muslim yang telah mencapai nishab dalam hartanya dengan syarat-syarat tertentu. Zakat maknanya adalah tambahan, penyucian dan berkah. Dinamakan demikian, karena orang yang menunaikan zakat akan mendapatkan keberkahan pada hartanya, dan akan membersihkan jiwanya dari sifat-sifat kikir.
Allah berfirman.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [at Taubah/9 : 103]
Yang dimaksud dengan shadaqah disini ialah zakat.
Anjuran Untuk Menunaikan Zakat
Di dalam al Qur`an, Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk menunaikan zakat. Allah telah menerangkan bahwa :
– Menunaikan zakat menjadi sebab turunnya rahmat Allah. Allah berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [at Taubah/9 : 71].
– Menunaikan zakat akan membersihkan jiwa dan menyucikannya dari kotoran bakhil (pelit), tamak, serta keras terhadap orang-orang lemah dan miskin. Lihat firman Allah surat at Taubah ayat 103.
– Menunaikan zakat menjadi sebab kokohnya kedudukan kaum Muslimin di muka bumi. Allah berfirman :
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
(Yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. [al Hajj/22 : 41].
Begitu juga Rasulullah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dan menganjurkan untuk menunaikan rukun yang bahwa :
– Menunaikan zakat menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
Dalam hadits disebutkan, ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukan kepadaku amal-amal yang dapat memasukkanku ke surga,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” [HR Bukhari-Muslim]
– Menunaikan zakat menjadi sebab hilangnya kejelekan harta.
Dari Jabir, ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seseorang menunaikan zakat hartanya?” Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang menunaikan zakat hartanya, maka akan lenyaplah kejelekan hartanya.” [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, no. 1602. Haditsnya hasan].
Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Menunaikan Zakat
Allah menerangkan akibat yang akan diterima seseorang yang meninggalkan zakat emas dan peraknya.
– Pada hari Kiamat kelak, harta-harta (emas dan perak) itu akan dipanaskan, lalu dahi dan seluruh jasad orang tersebut dibakar dengannya. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, [at Taubah/9 : 34].
– Allah juga menjelaskan, orang yang meninggalkan zakat, hartanya akan dikalungkan di lehernya pada hari Kiamat kelak. Allah berfirman :
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Ali Imran/3 : 180].
Al Hafizh Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini, beliau membawakan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa diberi harta oleh Allah, tetapi dia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat, harta itu akan berwujud seekor ular jantan bertanduk lagi memiliki dua taring, yang akan melilitnya. Kemudian ular itu memakannya dengan kedua mulutnya, seraya berkata,’Aku adalah hartamu. Aku adalah harta simpananmu,’ kemudian beliau membaca,’Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka’.” – QS Ali Imran ayat 180 sampai akhir ayat. [HR Bukhari, no.1403].
– Meninggalkan zakat temasuk yang menjadi penyebab terhalangnya hujan dari langit.
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi bersabda: “…Mereka tidak mengeluarkan zakat dari harta mereka, sehingga akan tertahan hujan dari langit. Dan kalau saja bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan”. [HR Ibnu Majah, no. 4019. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 106].
Yang dimaksud dengan zakat ialah, memberikan bagian tertentu dari harta yang dimiliki kepada mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat), ketika harta tersebut telah mencapai nishab (batas minimal wajib zakat) dan haul (sudah satu tahun), dan telah terpenuhi berbagai syarat wajib zakat. Ketika memberikan sifat kepada orang-orang mu’min, Allah berfirman tentang orang-orang yang mengeluarkan zakat : “Dan orang-orang yang menunaikan zakat” –QS al Mukminun/23 ayat 4- “Dan orang-orang yang dalam hartanya terdapat hak yang jelas, bagi orang miskin yang meminta-minta dan tidak mau meminta-minta” –QS al Ma’arij/70 ayat 24, 25].
Zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta benda. Melalui zakat akan tercipta keseimbangan sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalin kasih-sayang dan saling menghargai sesama muslim. Orang yang tidak mengeluarkan zakat, ia diperangi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat Abu Bakar ash Shiddiq.

Kelima Haji.
Hadits ini menunjukkan, bahwa haji ke baitullah termasuk rukun Islam. Di antara dalil yang menegaskan wajibnya haji bagi orang yang mampu, yaitu firmanNya :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. [Ali Imran/3 : 97].
Allah menyebutkan tentang haji dengan sefasih-fasih kata yang menunjukkan penekanan terhadap haknya, kewajibannya, serta kehormatannya yang agung.
Haji merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sekali seumur hidup. Disebutkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah pernah berkhutbah di hadapan kami. Beliau berkata:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
“Wahai manusia! Sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian. Karena itu, berhajilah!” Ada orang yang bertanya,”Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah diam, sehingga orang itu mengulanginya tiga kali. Setelah itu Rasulullah bersabda : “Seandainya aku jawab ya, maka haji itu tentu wajib setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya”. [HR Muslim, no.1337 (412].
Wajibnya Menunaikan Ibadah Haji Dengan Segera
Tidak halal bagi seorang muslim menunda ibadah haji, apabila ia memiliki badan yang sehat, harta yang cukup untuk melaksanakan haji, dan untuk membiayai keluarga ketika ia pergi. Bahkan wajib baginya menyegerakan melaksanakannya, dengan dasar dalil-dalil sebagai berikut.
– Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang patah, atau sakit, atau pincang, maka ia telah halal. Dan baginya haji pada tahun yang akan datang.” [HR Abu Dawud, no. 1862; Tirmidzi, no. 940; Ibnu Majah, no. 3077, dan Nasaa-i, V/198; Shahih Jami’ush Shaghir, no. 6521].
Imam asy Syaukani berkata dalam menjelaskan hadits ini : “Seandainya waktu melaksanakan haji itu longgar, maka Rasulullah tidak akan memerintahkan untuk menggantinya pada tahun yang akan dating”. [Nailul Authar, IV/318].
– Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bersegeralah untuk melaksanakan haji. Karena seseorang tidak mengetahui apa yang akan menghalanginya”. [HR Ahmad, I/314. Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 990].
– Umar bin Khaththab berkata,”Barangsiapa telah memiliki kemampuan untuk haji, namun ia tidak menunaikan haji, maka hatinya seperti Yahudi atau Nasrani.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/415. Ibnu Katsir berkata,”Sanadnya shahih sampai kepada Umar.”].
Anjuran Menunaikan Ibadah Haji
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk menunaikan ibadah haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang pahala dan ganjaran yang telah persiapkan Allah bagi mereka yang berhaji. Di antara dalil-dalilnya:
– Haji merupakan seutama-utama amal yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb-nya. Dan haji juga memiliki pengaruh yang baik pada jiwa.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang amal-amal yang utama. Maka Rasulullah n menjawab: “Iman kepada Allah dan RasulNya”.
“Kemudian apa?”
Rasulullah menjawab,”Jihad di jalan Allah”.
“Kemudian apa?”
Rasulullah menjawab,”Haji yang mabrur.” [HR Bukhari, no. 26; Muslim, no. 83].
Yang dimaksud dengan haji mabrur ialah, seseorang yang menunaikan haji sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan keadaan dia lebih baik daripada sebelum dia berangkat haji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُم
Hendaknya kalian mengambil dariku tata cara manasik haji kalian. [HR Muslim, no. 1297; Abu Dawud, no. 1970; an Nasaa-i, V/270; dan lainnya].
Hendaknya seseorang yang menunaikan ibadah haji, ia bersungguh-sungguh pada dirinya, agar ibadah haji yang ia tunaikan memberikan pengaruh pada kebersihan jiwanya, dan agar ia berlaku zuhud di dunia dan mengharapkan akhirat.
– Apabila seorang muslim menunaikan ibadah haji sesuai perintah Allah dan memperhatikan adab-adabnya, maka haji itu akan menjadi sebab dibersihkannya seorang hamba dari dosa dan kesalahan, sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَن حَجَّ هَذَا البَيْتَ فَلَم يَرْفُثْ, وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَومٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah dan ia tidak berkata kotor dan tidak pula berbuat dosa, maka ia pulang dalam keadaan seperti pada saat ia dilahirkan ibunya. [HR Bukhari, no. 1521; Muslim, no. 1350].
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Rafats, bisa bermakna jima’ (bersetubuh). Bisa juga bermakna perbuatan keji. Dan bisa juga bermakna obrolan seorang lelaki kepada wanita yang berkaitan dengan persetubuhan. Dan telah diriwayatkan dari sejumlah ulama, tentang tiga makna ini. Wallahu a’lam.” [Shahih at Targhib wa Tarhib, II/4].
Haji mabrur ganjarannya adalah surga. Yang kenikmatannya tidak bisa terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tidak dapat terlintas dalam hati manusia. Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Antara umrah yang satu dengan lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada ganjaran baginya melainkan surga. [HR Bukhari, no. 1773; Muslim, no. 1349].
Haji Merupakan Jihad Bagi Orang Yang Lemah Dan Wanita
Dari Hasan bin ‘Ali, ia berkata: Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata : “Sesungguhnya aku seorang penakut dan lemah,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kemarilah menuju jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji.” [HR Thabrani, Shahih Jami’ush Shaghir, no. 7044].
Dari ‘Aisyah, ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Wahai Rasulullah, kami (para wanita) melihat bahwa jihad adalah amal paling utama. Apakah kami boleh ikut berjihad?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tidak. Akan tetapi, jihad paling utama bagi kalian adalah haji mabrur.” [HR Bukhari, no. 1520].
Haji adalah pergi ke Baitullah di Makkah al Mukarramah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Haji dilakukan dengan menjalankan semua manasik (amalan-amalan dalam ibadah haji) yang telah diajarkan Rasulullah.
Haji merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta dan jiwa. Ibadah haji ini membawa berbagai pengaruh positif bagi individu dan masyarakat. Bahkan merupakan Muktamar Islam Internasional. Yakni umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkesempatan untuk bertemu dan saling mengenal.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dengan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru dunia yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan, atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. [al Hajj/22 : 27-29].
Karenanya, pahala haji sangat besar. Rasulullah bersabda,”Tidak ada pahala bagi haji yang mabrur, kecuali surga.”
Ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriah, melalui firman Allah : … mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah… [Ali Imran/3 : 97].
f)       RUKUN-RUKUN ISLAM MERUPAKAN KESATUAN YANG SALING TERKAIT.
Barangsiapa yang melaksanakan rukun-rukun tersebut secara utuh, ia adalah seorang muslim yang sempurna imannya. Barangsiapa yang meninggalkan keseluruhannya, ia adalah kafir. Barangsiapa yang mengingkari salah satu darinya, maka ia bukanlah orang muslim. Barangsiapa yang meyakini keseluruhan namun mengabaikan salah satu –selain dua kalimat syahadat– karena malas, ia adalah orang fasik. Barangsiapa yang melaksanakan keseluruhannya dan mengakui secara lisan, namun hanya kepura-puraan, maka ia adalah orang munafik.

g)      TUJUAN IBADAH
Ibadah dalam Islam bukanlah sekadar bentuk dari kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan mulia.
Shalat misalnya, tidak akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat, tidak akan diterima jika dilakukan hanya ingin dipuji orang lain. Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini, seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin, dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari setiap ibadah yang dilakukan.

h)     CABANG-CABANG IMAN

Perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits di atas bukanlah keseluruhan masalah yang ada dalam Islam. Penyebutan dalam hadits ini hanya terbatas pada perkara-perkara di atas, karena mengingat urgensi perkara-perkara tersebut. Masih banyak perkara-perkara lain dalam Islam yang tidak disebutkan. Rasulullah bersabda,”Iman mempunyai cabang hingga tujuh puluh lebih.” (Mutafaq ‘alaih).
Melalui hadits ini, kita bisa memahami bahwa Islam adalah aqidah (keyakinan) dan perbuatan. Karenanya, amal perbuatan akan sia-sia tanpa adanya iman. Dan iman tak bermakna, tanpa adanya amal perbuatan.

2.2     LIMA PILAR SYARI’AT ISLAM
1. Memelihara Agama (Hifdzh Al-Din/حفظ الدّين)

Hifdzh Al-din secara bahasa adalah menjaga atau mempertahankan agama, artinya Islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai keutuhan umat dengan menumbuhkan rasa nasionalisme tinggi terhadap agama dan bangsa, sehigga hal-hal yang dapat mempengaruhi terhadap keutuhan Islam sangat diperhatikan, demi menumbuhkan rasa nasionalisme itu Islam membuat peraturan jihad (perang) bagi siapa saja yang mencoba untuk memperkeruh keutuhan ummat, karena Islam sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kesatuan dan Islam juga merupakan agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulya dari Islam ”al islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi”.

Kewajiban untuk berjihad dalam Islam sangat erat sekali kaitannya dengan memelihara agama. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 193 sebagai berikut:

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [4]

Berdasarkan ayat di atas, “tujuan disyari’atkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah”. [5]

Keputusan hukum mati bagi yang murtad bukanlah tanpa alasan semata. Pada dasarnya hukuman tersebut adalah untuk memelihara agama Islam. Sebelum kepada vonis hukuman mati, maka seorang yang murtad diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah ia mau bertobat atau tidak? “Jika dia bertobat yakni kembali kepada Islam, yaitu mengakui dua syahadat dengan tertib, pertama kali beriman kepada Allah, lalu kepada utusan-Nya, maka urusan selesai. Jika dibalik, maka tidak syah sebagaimana Nawawi dalam syarah Muhadzab ketika berbicara tentang niat wudhu”. [6] Itulah tahap pertama jika memang orang yang murtad itu kembali sadar pada rel atau jalan yang benar.
Jika dia tidak bertobat, maka dia dibunuh. Yakni pemerintah membunuhnya jika ia merdeka dengan memenggal kepalanya, bukan dengan membakar atau dengan sejenisnya. Dari Ibnu Abbas dia berkata, Nabi SAW. bersabda:


مّنْ بَدّّّّلَ دِيْنَهُ فَقْتُلُوْهُ. رَوَاهُ الْبُخَارِى
Barang siapa yang siapa yang mengganti agamanya (Islam), maka bunuhlah. (HR Al-Bukhori)

Dan berdasarkan sabda Nabi:

لاَ يَحِلُّ دَامٌ امْرِىءٍمُسْلِمٍ إِلّاَ بِإِحْدىَ ثَلَاثٍ:... الْمُفَارِقُ لِدِيْنِهِ الْتَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِى وَمُسْلِمٌ
Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: …(karena) meninggalkan agamanya serta meninggalkan jama’ah. (HR Al-Bukhori dan Muslim). [7]

Pemeliharaan terhadap agama juga dapat dilakukan dengan ibadah-ibadah wajib, sebagaimana juga iman, syahadat, shalat, puasa dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk menjaga agama. Rincian lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut:
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. [8]

2. Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs/حفظ النّفس)

Hifdzh An-nafsi artinya menjaga dan mempertahankan jiwa. Setiap manusia diberi kebebasan dan diberi hak untuk melindungi diri dari berbagai macam bentuk uaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi tanggunganya (istri, anak, budak dan yang menjadi tanggunganya). Untuk itu dalam Islam dibuat aturan seperti Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu).

Hukum qishas pun digulirkan terhadap yang melakukan pembunuhan tanpa hak. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh (2): 178-179 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [9]

Berdasarkan ayat di atas, kita dapat memahami, hukum qishah itu memberikan efek jera. Efek jera itu tidak hanya dirasakan oleh orang yang membunuh, akan tetapi orang yang tidak membunuh pun turut merasakannya, sehingga dengan adanya qishah ini jiwa ini sungguh sangat berharga. Bahkan tidak hanya itu, ternyata “jika keluarga korban (yang dibunuh) mampu memaafkan si pembunuh, maka si pembunuh diwajibkan membayar denda (diyat) kepada keluarga korban dengan cara yang baik. Dan diat itu merupakan salah satu bentuk dispensasi dan kasih sayang (rahmat) dari Allah”. [10]

Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat sebagai berikut:
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum. [11]

3. Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql/حفظ العقل)

Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan akal, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Syaikh Al-Albani berkata, ‘Akal menurut asal bahasa adalah at-tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf’. [12]

Islam mengharamkan khamer dan sesuatu yang memabukan sejenisnya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa khamer atau berbagai minuman keras itu memiliki mafsadat atau dosa yang jauh lebih besar dari manfaatnya. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh (2): 219 sebagai berikut:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. [13]

Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al-Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil qiyas dari khamer. Karena sebab atau illat pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Peminum minuman keras dikenakan sanksi dengan hukum had yang berupa cambukan sebanyak empat puluh kali cambukan sebagaimana sabda Nabi:
عّن أَنَسِ بْْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَنَّ النَّبِىَّ ص أَُتَى بِرَجُلٍ قََدْ شَرِِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِِجِرَيْدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ , قَالَ ( اَىْ اَنَس ) وَفَعَلَهُ اَبُو بَكْرٍ.
Dari Annas bin Malik r.a. ia berkata: bahwasanya Nabi SAW. beliau mendatangi seseorang yang telah minum khamer, maka beliau mencambuknya dengan dua cambuk sekitar empat puluh kali. [14]

Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. [15]

4. Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl/حفظ النّسل)

Hifdzh al-nasl artinya menjaga keturunan. Demi menjaga kelestarian umat diperlukan adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluq yang dipercaya oleh Allah menjadi kholifah di bumi ini perlu kiranya manusia menyadari bahwa populasi sangat diperlukan. Hal itu semata hanyalah sebagai upaya menjaga amanah dari Allah SWT. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan adanya peraturan yang menangani masalah itu, dalam Islam di berlakukan hukum nikah lengkap dengan syarat rukun dan yang berkaitan denganya semisal tholaq (cerai), ruju’ (kembali pada istri setelah menjatuhkan talaq), khulu’ (gugatan dari istri minta di cerai suami), dan yang lainnya seprti larangan zina, nikah mut’ah (kawin kontrak).

Pernikahan dalam Islam sebagai salah satu jalan untuk memelihara keturunan. Seseorang yang berhasrat untuk melakukan hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan harus dilakukan dengan cara yang telah diatur oleh Allah SWT. Dengan kata lain, bahwa setiap anak manusia tidak pernah berani melakukan hubungan seksual tersebut tanpa melalui cara-cara yang pastinya diridhoi oleh Allah SWT, yakni melalui syari’at pernikahan.

Syari’at hukum pernikahan dalam Islam merupakan suatu terobosan baru dalam rangka memberikan solusi atas tata hukum pernikahan yang terjadi di zaman Jahiliyah. Aturan orang Arab Jahiliyah mengenai perkawinan sungguh sangat tidak manusiawi, terutama dalam hal tidak adanya pengakuan terhadap harkat dan martabat kaum wanita. Seperti halnya diatur dalam firman Allah dalam surah An-Nisa (4) ayat 19 sebagai berikut :

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. [16]

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga:
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. [17]

5. Memelihara Harta (Hifzh Al-Maal/حفظ المال)

Hifdhu Al-mal artinya melindungi dan menjaga harta kekayaan dari ulah jahil pihak lain. Begitu pedulinya Islam terhadap keutuhan umat, Islam memberikan hak pada masing-masing untuk mempertahankan segala apa yang ada dalam genggamanya sehingga diharapkan akan terwujud situasi yang kondusif aman terkandali karena masing-masing merasa punya hak dan kewajiban, untuk mewujudkan itu diberlakukan hukum sanksi bagi yang melanggar diantaranya:
Had sariqoh (sanksi bagi pencuri) dengan cara potong tangan, Had ikhtilas (sanksi bagi pencopet), had qothi’utthoriq (sanksi bagi penodong), ta’zir bagi pelaku ghosob, dan lain-lain. Tentang cara dan bentuk sanksi yang diberikan bagi para pelaku tindak kriminal di atas itu ada beberapa perincian yang telah disebutkan dalam beberapa kitab fiqih, tidak cukup hanya peraturan tentang sanksi, Islam juga telah menerapkan beberapa trik dan cara untuk menjadikan harta menjadi harta yang baik halal dengan cara di buat aturan-aturan infestasi yang baik dan menguntungkan hal itu terbukti dengan adanya aturan-aturan dalam bai’ (transaksi jual beli), syirkah (modal bersama atau koperasi), ijaroh (sewa), rohn (gadai), qirodh (tanam modal), dan lain-lain.

Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. [18]







BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab Al-Khallaf adalah berperan sebagai alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur`an dan Sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan.

Ketetapan hukum dalam Islam tentunya memiliki argumentasi yang bisa diterima oleh akal manusia. Dalam Islam perintah atau larangan tidaklah diberlakukan tanpa maksud. Islam memerintahkan atau melarang untuk melakukan sesuatu demi menjaga atau melindungi lima hal yang dikenal sebagai maqashid asy-syariah. Kelima hal itu adalah hifdzh al-din (memelihara agama), hifdzh al-‘aql (memelihara akal), hifdzh al-mal (memelihara harta benda), hifdzh al-nafs (memelihara hak hidup), dan hifdzh al-nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil 'alamin.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin juga dapat ditelusuri dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perseorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.



3.2     Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Abul Fida' Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Al-Bushrawi, Tafsiir Al-Qur’an Al-‘Adzim, Jilid I. Qohiroh: Dar Al-Hadits, 2002.
Al-Bigha, Mustofa Dib, Fikih Islam: Lengkap dan Praktis, Penyusun Achmad Sunarto. Surabaya: Insan Amanah, 2000.
Al-Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah Al-Syariah Al-Islamiyah. Kairo: Maktabah Wabah, 1991.
As-Shobuniy, Muhammad Ali, Shofwah At-Tafaasir, Jilid I. Beirut: Maktabah Al-‘Ashriyyah, 2006.
As-Syathiby, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fii Ushul Al-Syari’ah, jilid 2. Beirut: Dar Ma’rifah, Tt.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Effendi, Satria, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.
Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H.
Thaha Ahmadie, SHAHIH BUKHARI 1. (JAKARTA; PUSTAKA PANJI MAS)


Komentar